Home > Budaya

Prasasti Kantor Ledeng yang Hilang Tertemukan

Dalam sejarahnya, Kantor Ledeng dibangun sebagai menara air atau watertoren untuk menampung air bersih yang kemudian dialirkan ke pemukiman atau rumah warga di Palembang)

Pompa air masa Hindia Belanda yang menjadi koleksi Office Museum Kantor Wali Kota Palembang. (FOTO: D Oskandar)
Pompa air masa Hindia Belanda yang menjadi koleksi Office Museum Kantor Wali Kota Palembang. (FOTO: D Oskandar)

Menara Air

Dalam sejarahnya, Kantor Ledeng dibangun sebagai menara air atau watertoren untuk menampung air bersih yang kemudian dialirkan ke pemukiman atau rumah warga di Palembang khususnya warga Belanda yang tinggal di sekitar Jalan Tasik saat ini dan sekitarnya. Mengutip Dedi Irwanto Muhammad Santun dalam “Venesia dari Timur: Memaknai Produksi dan Reproduksi Simbolik Kota Palembang dari Kolonial Sampai Pascakolonial” (2010), pembangunan menara air atau watertoren di atas Kantor Gemeente Palembang yang dirancang Ir. S. Snuijf dari Surabaya.

Pengerjaannya dimulai sejak tahun 1926 dan selesai pada 1931 dengan dua lantai, pertama yang bersayap sebagai kantor administrasi serta lantai tiga bagian atas sebagai bak penampungan. Pada tahun 1930 Kantor Ledeng ini dianggap sebagai gedung termegah dan termewah serta pencakar langit pertama di Palembang karena terdiri atas tiga tingkat lantai.

Mengutip R Akib, R dalam “Kota Palembang 1272 Tahun (684-1956) dan 50 Tahun Kotapradja (haminte) Palembang 1906-1956” (1956), Watertoren dibangun dengan tinggi 35 meter, luas 250 m2 dan dapat menampung 1200 m3 air. Biaya pembangunan ini menelan biaya f. 1.550.000 yang senilai dengan berat satu ton emas. Biaya untuk pembangunan ini diperoleh dari dana pinjaman dengan bunga sebesar 5,5 % yang diangsur selama 29 tahun .

Menara air ini berdiri di tepi Sungai Kapuran dan Sungai Sekanak, pada masa itu, posisi Kantor Ledeng tepat di tepian air. Seiring dengan pembangunan jembatan yang melintasi Sungai Sekanak, Sungai Kapuran pun ditimbun.

Kontruksi arsitektural bangunan watertoren bergaya Art Deco. Pada bagian eksterior, Snuijf menggunakan bentuk kotak dan garis-garis vertikal pada kolom penyangga tandon air. Pada bagian interior banyak digunakan elemen dekorasi pada kepala kolom dan railing tangga dengan material industrial seperti beton bertulang dan besi baja. Dengan gaya bangunan Art Deco dan material industrial serta kontruksi bangunan tinggi itu ingin ditunjukkan bahwa Palembang tidak berbeda dengan kota-kota modern di Hindia Belanda atau dunia secara umum (Abubakar & Arlyana dalam “Oedjan Mas di Bumi Sriwijaya: Bank Indonesia dan Heritage di Sumatra Selatan” 2020).

Menurut M Sujiyati & NH Ali dalam “Pembangunan Kota Palembang dengan konsep tata ruang kota hijau pada masa Hindia-Belanda” (2015), pembangunan Watertoren selesai pada tahun 1931. Air bersih kemudian disalurkan ke penduduk sekitar melalui waterleiding, pendistribusian air sampai ke daerah pemukiman daerah 16 Ilir, Segaran dan sekitarnya. Terutama ke Talang Semut yang merupakan tempat tinggal mayoritas orang-orang Eropa. Ditempat ini disediakan hydrant-hydrant, sumur-sumur bor, dan masyarakat dapat mengambil air dengan membeli seharga satu sen untuk satu kaleng air bersih.

× Image