Membeli Suara pada Pilkada
Faktanya, perkiraan tersebut jauh panggang dari api, alias meleset Bro. Dengan model pemilihan langsung dalam Pilkada, politik uang bukannya berhasil ditekan, sebaliknya justru makin menjadi-jadi. Banyak yang menyatakan, hampir tak ada Pilkada yang sepi dari praktik politik uang.
Pernyataan tersebut pun menjadi perdebatan karena praktik beli suara atau politik uang pada Pilkada dalam banyak kasus yang dilaporkan sulit dibuktikan. “Politik uang ada ibarat angina: bisa dirasakan, tetapi karena dilakukan secara sistemik dan sistematik, praktik politik haram ini sulit ”ditangkap tangan”, tulis Mohammad Nasih dalam “Bayang-bayang Politik Uang” (Suara Merdeka, 1 Desember 2008).
Istilah politik uang kini telah secara luas digunakan untuk berbagai praktek culas berupa transaksi politik. Mengutip mantan anggota KPU (Komisi Pemilihan Umum) Hadar N Gumay bahwa, batasan politik uang yang digunakan sangat luas, namun tujuannya amatlah fokus yaitu pembelian suara, atau vote buying. Seseorang memberikan sesuatu kepada seorang atau sekelompok orang orang lain dengan harapan bahwa penerima akan memberikan suaranya saat pemilu kepada partai orang yang memberi.
Sesuatu di sini antara lain uang, bahan makanan pokok, kaos, sajadah, infrastruktur lingkungan seperti jalan, fasilitas sekolah atau ibadah seperti masjid, bahkan fasilitas kredit serta jaring pengaman sosial. Juga termasuk janji seseorang untuk memberikan hal-hal tersebut.”
Teten Masduki mantan Menteri Koperasi dan UKM saat menjadi Aktivis Antikorupsi, tahun 2008 pernah menulis di sebuah surat kabar, “Sudah menjadi pengetahuan umum, sejak Pemilu 1999 terjadi pergeseran korupsi pemilu, dari manipulasi pemilihan yang menonjol pada masa Orde Baru ke mobilisasi pemilih lewat politik uang seiring perubahan sistem dan penyelenggaraan pemilu”.