Membeli Suara pada Pilkada
Apa yang terjadi pada Pilkada dengan membeli suara atau politik uang telah menjadikan kontestasi politik lokal ini seperti pasar ekonomi politik, karena masing-masing pihak memperoleh keuntungan pragmatis, bukan lagi ide-ide etis tentang perubahan ke arah kehidupan yang lebih baik dan sejahtera. Dan kini semua itu menjelma menjadi lingkaran setan bak benang kusut yang semakin sulit untuk diurai, karena jeratan pragmatism bukan saja pada lingkaran elit, tetapi juga pada tingkat massa.
Maka tak heran jika muncul meme politik di meida sosial, “Desa Kami Menerima Serangan Fajar, Baik Cash maupun Sembako” dan lainnya. Pada saat yang bersamaan juga muncul meme politik berisi pesan tolak politik uang.
Politik uang pada Pilkada ada sanksinya? Ada. Dalam UU No.10 Tahun 2016 tentang Pilkada mengatur sanksi politik uang pada Pasal 73 ayat (1) “Calon dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi penyelenggara pemilihan dan/atau pemilih”.
Ayat (2) “Calon yang terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud ayat (1) berdasarkan putusan Bawaslu Provinsi dapat dikenakan sanksi adminitrasi pembatalan sebagai pasangan calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota”.
Menurut Dian Permata dalam penelitiannya,“Peta Jalan Politik Uang dalam Pemilu”, bahwa politik uang atau beli suara paling rawan terjadi pada saat menjelang pencoblosan. Pembelian suara dilakukan dengan pemberian uang maupun barter barang pada saat subuh atau dinihari. Caranya dengan mendatangi rumah-rumah penduduk. Tujuannya untuk memengaruhi pemilih agar memilih calon yang memberi. (maspril aries)