Home > Politik

Membeli Suara pada Pilkada

Pemilihan langsung tidak lagi melalui parlemen di daerah adalah untuk menekan praktik politik uang, karena sebelumnya, ketika pemimpin eksekutif dipilih oleh anggota lembaga legislatif, politik uang selalu mewarnai proses pemilihan.

Spanduk stop politik uang. (FOTO: Republika)
Spanduk stop politik uang. (FOTO: Republika)

Alexander menjelaskan, untuk pencalonan bupati/ wali kota dibutuhkan dibutuhkan Rp20 miliar sampai Rp30 miliar. Untuk pencalonan gubernur sekitar Rp50 miliar. “Itu baru untuk mencalonkan, biaya kampanye, belum tentu menang. Kalau menang, dua kali atau tiga kali lipat, konon seperti itu. Kemenangan itu banyak bergantung pada sejumlah uang yang akan diberikan kepada masyarakat. Salah satunya membeli suara. Ini biaya yang paleng besar, termasuk honor dari pendukung, saksi-saksi dan sebagainya. Itu membutuhkan biaya sangat besar dengan kemampuan keuangan yang tinggi juga”, katanya.

Politik Uang

Dengan penjelasan dari Wakil Ketua KPK tersebut, jelas bahwa politik uang terus saja mewarnai kontestasi atau pemilihan kepala daerah sampai saat ini. Pilkada secara langsung di Indonesia telah berlangsung sejak 2005, pada tahun 2024 berlangsung pilkada serentak di seluruh Indonesia untuk memilih Gubernur, Bupati dan Wali Kota.

Dari kasus OTT calon Gubernur Bengkulu tersebut menjadi potret bahwa setiap pilkada ada proses membeli suara pemilih yang dilakukan para calon kepala daerah. Walau sudah ada beberapa kasus korupsi yang terkait dengan Pilkada ditangani KPK, tetap saja praktek culas tersebut selalu berulang.

Ini kisah politik uang alias membeli suara pada Pilkada selalu berulang. Syahdan, pada masa Orde Baru (Orba) kepala daerah atau pemimpin eksekutif (gubernur, bupati dan wali kota) dipilih oleh anggota DPRD, demikian pula ada setelah Orba tumbang, pada kepala daerah tersebut tetap dipilih anggota DPRD. Baru kemudian pada 2005 dipilih langsung oleh rakyat setelah sebelumnya dipersiapkan aturan atau undang-undangnya.

Salah satu dasar pemikiran pemilihan langsung tidak lagi melalui parlemen di daerah adalah untuk menekan praktik politik uang, karena sebelumnya, ketika pemimpin eksekutif dipilih oleh anggota lembaga legislatif, politik uang selalu mewarnai proses pemilihan. Maka semuanya, ramai-ramai bersepakat dengan pemilihan secara langsung praktik politik uang tak akan terjadi lagi. Alasannya, tidak mungkin mempraktikkan politik uang dalam area yang sangat luas, dengan jumlah pemilih yang sangat besar.

× Image