Membeli Suara pada Pilkada
Teten mengutip Jacobson (1983) yang menyebutkan, bahwa uang saja tidak cukup, tetapi uang sangat berarti bagi keberhasilan dalam kontestasi Pilkada atau Pemilu. Dana atau uang diibaratkan bahan bakar bagi tim sukses atau partai politik. Pernyataan Jacobson tersebut mendapat dukungan Frederic Charles Schaffer (2007) mengatakan, politik uang merupakan fenomena umum dalam pemilu yang kompetitif (popular election).
Zainal Abidin Rahawarin Darma dalam bukunya “Dinamika Politik Uang Dalam Pemilihan Kepala Daerah” (2022) bersepakat degan penyataan Frederic Charles Schaffer. Menurutnya, salah satu pertimbangan peralihan mekanisme pilkada oleh DPRD menjadi pilkada langsung adalah untuk memangkas politik uang (money politics), logikanya calon tidak punya kemampuan untuk membeli suara rakyat yang jumlahnya sangat banyak.
Namun fakta menunjukkan bahwa justru dalam pilkada langsung, politik uang berlangsung secara massif karena melibatkan pemilih dalam satu daerah pemilihan. Suburnya politik uang itu juga tidak lepas dari cara pandang masyarakat pemilih yang permisif terhadap politik uang itu. Pada proses demokrasi di Indonesia, termasuk demokrasi di level akar rumput (pilkades) praktek money politics tumbuh subur, karena dianggap suatu kewajaran masyarakat tidak peka terhadap bahayanya. Mereka juga beranggapan, bahwa money politics secara normatif bukanlah perilaku yang harus dijauhi.
Dari penelitian Edward Aspinal dan Ward Berenschot dalam “Democracy for Sale; Pemilu, Kilentelisme dan Negara di Indonesia” (2020). menunjukkan bahwa bukan hanya aktor-aktor politik yang bertindak secara rasional untuk membeli suara rakyat, tetapi justru masyarakat pula yang berupaya mendapatkan keuntungan. Ini menunjukkan bahwa money politics sudah biasa berlangsung di tiap momentum politik seperti pilkada, dan hal ini diterima sebagai hal yang wajar.
Para aktor politik (calon kepala daerah dan tim sukses) tidak peduli politik uang atau membeli suara pemilih merupakan sebuah tindakan yang telah mencederai demokrasi, yang terpenting adalah tercapainya. Dalam benak calon kepala daerah dan pemilih ada persepsi bahwa pilkada adalah pesta perayaan dan ini menjelma menjadi kultur pragmatisme jangka pendek.