Home > Politik

Membeli Suara pada Pilkada

Pemilihan langsung tidak lagi melalui parlemen di daerah adalah untuk menekan praktik politik uang, karena sebelumnya, ketika pemimpin eksekutif dipilih oleh anggota lembaga legislatif, politik uang selalu mewarnai proses pemilihan.

Ilustrasi Politik Uang.
Ilustrasi Politik Uang.

Faktor Politik Uang

Lantas faktor-faktor apa yang menumbuhkan politik uang atau beli suara tersebut terus lestari sejak Pilkada langsung 2005? Ada banyak jawabannya, ada banyak pakar atau ilmuwan sudah mengidentifikasinya. Salah satunya Zainal Abidin Rahawarin Darma, politik uang yang terjadi pada Pilkada di berbagai daerah, secara umum dapat diidentifikasi dalam tiga kategori.

Pertama, politik uang terjadi karena pasangan calon tidak memiliki program yang jelas tetapi sangat berkeinginan untuk menang. Sementara, partai politik yang mengusungnya tidak berperan banyak selain membantu pencalonan.

Kedua, lemahnya regulasi tentang politik uang pada pilkada. Sebagaimana kasus yang dialami Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang hanya berwenang mengawasi pasangan calon setelah pendafataran di KPU atau penetapan pasangan calon. Sementara transaksi politik yang terjadi baik antara pasangan calon dengan partai politik atau pihak lain yang dilakukan sebelum masa pendaftaran atau penetapan pasangan calon tidak bisa dilakukan.

Ketiga, adanya faktor budaya yang permisif, yaitu kebiasaan yang sudah membudaya di Indonesia, yakni tidak pantas jika menolak pemberian dan terbiasa membalas pemberian. Instrumen kultural ini dimanfaatkan oleh politisi atau calon kepala daerah untuk menjalankan politik uang atau politik transaksional lainnya dengan berbagai cara. Artinya bukan elit saja yang berinisiatif memberikan tawaran transaksional, tetapi juga masyarakat pemilih.

Berdasarkan survei persepsi publik oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2013 terhadap 1.200 responden, menjadi bukti tentang budaya tersebut. Data yang diperoleh menunjukkan bahwa 71,72 persen masyarakat menganggap politik uang sebagai kelumrahan. Survei juga menunjukkan, masyarakat cenderung memilih calon pemimpin terutama berdasarkan faktor perilaku dan karakter sebesar 22,38 persen. Faktor kompentensi sebesar 16,48 persen dan faktor kedekatan masyarakat sebesar 13,93 persen.

× Image