Home > Bisnis

Perebutan Kue Iklan di Senjakala Media Konvensional dan Bangkitnya Media Sosial (Bagian Kedua)

Homeless media berdampak pada media konvensional. Memang Homeless media menarik audiens dengan konten lokal, cepat, dan visual. Mereka merebut pangsa iklan media online.
Ilustrasi Newsroom media online. (FOTO: AI)
Ilustrasi Newsroom media online. (FOTO: AI)

KINGDOMSRIWIJAYA – Pada tahun 2025 setelah Presiden Prabowo Subianto menginstruksikan efisien anggaran, intruksi ini menjalar ke daerah-daerah. Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan Kota mendeklarasikan sikap yang sama “efisiensi”. Ini tentu berimbas pada belanja iklan pemerintah. Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi memangkas belanja iklan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jabar dari sebelumnya iklan kerja sama dengan media sebesar Rp50 miliar, sekarang cukup Rp3 miliar. Pengurangan ini bukan hanya efisiensi tapi pengetatan anggaran. Keputusan ini sudah pasti berdampak pada media massa khususnya media lokal.

Penurunan ini berdampak langsung pada operasional media, seperti:

1. Banyak koran lokal tutup atau beralih ke digital dengan model bisnis yang belum stabil; 2. Stasiun televisi mengurangi produksi konten investigatif dan beralih ke infotainment demi rating; 3. Portal berita online mengandalkan clickbait dan native ads untuk bertahan.

Dalam konteks Sumatera Selatan, jika alokasi dana APBD untuk kue iklan dibagi ke content creator yang tergabung dalam Forum Admin Media Sosial atau FAMS, ada pertanyaan yang butuh jawaban. “Apakah conten creator atau influencer yang digandeng pemerintah ini berbadan hukum seperti media konvensional umumnya. Apakah ada perlakuan dan ketentuan yang sama?”

Karena media konvensional atau media online untuk mendapat kue iklan dari pemerintah daerah diharuskan memenuhi persyaratan, diantaranya: memiliki badan hukum Perseroan Terbatas (PT), terverifikasi oleh Dewan Pers dan untuk mendapatkan iklan harus menggunakan e-katalog dalam melakukan penawaran serta memiliki NPWP perusahaan.

× Image