Seksploitasi Sinema 1990-an: Bayang-Bayang Patriarki dan Male Gaze

Oleh: Mutiara Zahra dan Isnawijayani (Mahasiswi dan Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Bina Darma)
“Perempuan bukan makhluk lemah—mereka punya kekuatan untuk berdiri sejajar, menantang patriarki, dan mengubah dunia.”
Industri film Indonesia pada dekade 1990-an kerap disebut sebagai periode kelam dalam sejarah perfilman nasional. Banyak judul film yang mengandalkan unsur sensualitas dan tubuh perempuan sebagai daya tarik utama. Dari poster, judul, hingga adegan, sinema pada era itu dianggap menampilkan seksualitas perempuan secara eksplisit, bahkan mengeksploitasinya.
Pengamat budaya menilai fenomena ini bukan sekadar strategi pasar, melainkan cerminan kuatnya budaya patriarki yang masih mengakar. Patriarki menempatkan perempuan sebagai objek, sementara laki-laki berperan sebagai subjek dominan yang memegang kendali. Dalam konteks perfilman, kondisi ini tercermin dalam bagaimana tubuh perempuan diposisikan sebagai komoditas visual untuk memikat penonton.
“Film-film era 90-an banyak menampilkan perempuan sebagai penggoda, korban, atau pelengkap. Jarang sekali mereka diberikan ruang sebagai subjek utama yang berdaya,” kata Dr Lina Prasetyo, peneliti film dan gender dari Universitas Gadjah Mada.
Kecenderungan ini erat kaitannya dengan teori male gaze yang diperkenalkan oleh Laura Mulvey pada 1975. Teori ini menjelaskan bahwa sinema sering menyajikan perempuan dari sudut pandang laki-laki heteroseksual. Kamera, alur cerita, hingga cara promosi dirancang untuk memuaskan tatapan laki-laki, bukan untuk menghadirkan pengalaman perempuan sebagai subjek penuh.
Dalam praktiknya, male gaze di sinema 1990-an tampak jelas:
1. Poster film menyorot tubuh aktris dengan pose sensual.
2. Judul film bernuansa provokatif untuk menarik rasa ingin tahu.
3. Adegan kerap menampilkan pakaian minim atau erotis meski tidak relevan dengan alur cerita.