Profesor Arizka Warganegara: Konflik dan Perang, Menguatnya Rezim Elektoral Demokrasi Berdampak Democratic Backsliding
Kedua, pengembangan studi interdisiplin di Indonesia masih terlalu fokus pada level pasca sarjana. Dalam konteks ini, seharusnya kita sudah memulai secara masif membuka program studi di level sarjana berbasis keilmuan interdisiplin. Ketiga, meletakan studi geografi dan politik pada irisan departemen/jurusan yang berbeda membuat studi geografi politik di Indonesia tidak terlalu berkembang. Politik berdiri sendiri sebagai kajian pun begitu geografi.
Menjawab hambatan dan tantangan tersebut Arizka selain mengusulkan mata kuliah geografi politik masuk masuk dalam mata kuliah wajib juga mendorong penelitian-penelitian interdisiplin pada level pembelajaran sarjana bukan hanya pada level pasca sarjana. “Perlu adanya dialog yang lebih intensif antar bidang ilmu merumuskan secara bersama pada aspek yang mana dari masing-masing bidang ilmu yang dapat didorong menjadi penelitian interseksi”, ujarnya.
Kemudian dengan mengembangkan asosiasi-asosiasi studi geografi politik atau memasukan geografi politik sebagai salah satu speciality dalam asosiasi-asosiasi rumpun ilmu terdekat seperti asosiasi keilmuan Politik-HI-Pemerintahan dan asosiasi keilmuan geografi. “Dengan begitu, studi geografi politik mempunyai sebuah “rumah besar” untuk dapat berkembang lebih baik”, katanya.
Pada bagian akhir orasi ilmiahnya Arizka Warganegara menyampaikan bahwa mengembangkan keilmuan adalah sebuah jalan yang panjang dan memerlukan sikap akademik yang konsisten.
“Studi geografi politik adalah sebuah studi interdisiplin yang tidak begitu popular di Indonesia. Merespon kompleksitas dinamika global hari ini maka pendekatan keilmuan interdisiplin seperti halnya geografi politik seharusnya menjadi salah satu prioritas pengembangan keilmuan di tanah air”, ujar putra dari pasangan Saad Burhanuddin Warganegara dan Mashaurani Yamin. (maspril aries)