Selamat Datang Kementerian Kebudayaan dan Fadli Zon
Seorang Jaya Suprana pernah menulis “Permohonan kepada Presiden Terpilih” yang ditulis tahun 2014. Isinya: “Demi mencegah ketidakfokusan bahkan kebingungan akibat terlalu banyak permohonan, saya fokus memusatkan permohonan saya hanya pada kehadiran kementerian kebudayaan secara mandiri pada kabinet presiden ke-7 RI ini”.
Menurutnya, banyak alasan untuk menentang kehadiran kementerian kebudayaan yang sampai dengan masa kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono masih dianggap penting-memang-penting-tetapi-sebenarnya-tidak-terlalu-penting sehingga cukup ditempelkan pada kementerian lainnya.
Kelirumulogi itu menulis, terkesan urusan kebudayaan diposisikan lebih rendah ketimbang urusan pemberdayaan perempuan yang diberi fasilitas kementerian khusus. Kebudayaan diletakkan di depan pariwisata di masa kementerian kebudayaan dirangkap pariwisata, lalu digeser ke belakang ketika ditempelkan ke kementerian pendidikan.
Olahraga yang sebenarnya merupakan sub bagian dari kebudayaan, yang setara dengan kesenian, malah diutamakan dengan menghadirkan Komite Olahraga Nasional Indonesia, sementara belum pernah ada Komite Kesenian Nasional Indonesia. Padahal, dalam kesenian Indonesia terbukti tidak kalah mengharumkan nama Indonesia ketimbang olahraga, apalagi sepak bola!
Pada 2019, Asvi Warman Adam, Profesor Riset Bidang Sejarah Sosial Politik LIPI sekarang BRIN menyatakan dalam tulisannya “Pentingnya Kementerian Kebudayaan” (2019), sejak Indonesia merdeka belum pernah ada kementerian yang mengurus ratusan etnis, budaya, adat istiadat, tradisi, dan bahasa daerah yang tersebar di Tanah Air.
Menurutnya, urgensi pembentukan Kementerian Kebudayaan ini didorong pula oleh perkembangan akhir-akhir ini. Isu identitas primordial sektarian di tengah masyarakat kita cenderung menguat, ketimpangan relasi budaya masyarakat Indonesia meningkat justru di saat terjadi disrupsi teknologi informatika.