Selamat Datang Kementerian Kebudayaan dan Fadli Zon
Menurut Agus Dermawan, pada masa Menteri Muhammad Yamin dan Bahder Djohan pada 1950-an, kebudayaan diletakkan sebagai pelengkap Kementerian Pendidikan dan Pengajaran, yang kemudian disebut PP&K (Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan). Bahder Djohan pernah menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (6 September 1950 – 20 Maret 1951), Muhammad Yamin menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (30 Juli 1953 – 12 Agustus 1955) kemudian Menteri Sosial dan Kebudayaan (10 Juli 1959 – 30 Juli 1959).
Pada masa Orde Baru, kementerian itu diringkas menjadi P dan K saja, atau Pendidikan dan Kebudayaan yang pada masa itu disebut Departemen P dan K. Nomenklatur ini dikritik oleh budayawan Boediardjo dalam sejumlah seminar. Pendidikan dan kebudayaan disebut sebagai dua pekerjaan besar, yang seharusnya ditangani terpisah. Kementerian Kebudayaan harus berdiri sendiri. Sementara itu, salah satu hasil kebudayaan yang disebut kesenian juga merupakan karya berlingkup amat luas, yang manifestasinya harus diwadahi secara spesial.
“Baru pada medio 1998, seni memperoleh posisi mandiri, dalam Kementerian Pariwisata dan Seni yang dipimpin Marzuki Usman. Meski begitu, konon, seni di sini diposisikan sebagai penghias dunia pariwisata saja. Sementara itu, kebudayaan masih dilekatkan di belakang Kementerian Pendidikan”, tulis Agus Dermawan.
Pada Orde Reformasi masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dibentuk Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Menurut Agus, kebudayaan tetap cuma menempel-nempel. Lumayan, kebudayaan ditaruh di posisi depan, meski dalam prakteknya kebudayaan habis dilibas program kepariwisataan. Kemudian kebudayaan lalu bergabung (lagi) dengan pendidikan.
Pada pergantian dari Presiden SBY kepada Presiden Joko Widodo, kebudayaan tetap ada dalam Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang kemudian kementerian ini dilengkapi dengan riset dan tekonologi dengan nomenlaktur Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi.