Selamat Datang Kementerian Kebudayaan dan Fadli Zon
Mengutip Aris Setiawan dalam artikelnya berjudul “Kementerian Kebudayaan dan Nasib Kampus Seni di Indonesia” (2024), “Selama ini, kebudayaan sering kali terpinggirkan atau hanya menjadi subordinat di bawah naungan kerja-kerja berdalih pendidikan. Hal ini telah membatasi kemajuan kebudayaan karena terbelenggu oleh aturan-aturan yang lebih dominan, dengan menempatkan kebudayaan semata sebagai pelengkap atau suplemen”.
Sejak masa awal pemerintahan Presiden Joko Widodo, desakan perlu adanya Kementerian Kebudayaan yang berdiri sendiri dan kehadiran UU Kebudayaan menjadi isu yang mengemuka. Salah satunya pada Temu Redaktur Kebudayaan III/2014, di Siak, Riau, 20-22 Mei 2014, kerja sama Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melahirkan lima butir rumusan yang diberi nama”Petisi Siak”.
Petisi Siak menyatakan bahwa, sebagai solusi dari berbagai permasalahan kebudayaan yang ada selama ini, para peserta temu redaktur kebudayaan mendesak agar segera disahkan Undang-Undang Kebudayaan dan pengelolaan kebudayaan di tangan Departemen Kebudayaan.
Dorongan dari Petisi Siak tersebut baru bisa terwujud 10 tahun kemudian saat Presidien Prabowo Subianto membentuk Kementerian Kebudayaan dengan Menteri Fadli Zon. Ini untuk pertama kalinya kebudayaan berada dalam rumahnya sendiri tidak lagi menempel pada kementerian lain seperti ditulis Agus Dermawan T.
Wartawan dan sastrawan Yusuf Susilo Hartono dalam artikelnya “Mendesak Kementerian dan UU Kebudayaan” (2014) menulis, usulan adanya Kementerian Kebudayaan yang disuarakan dalam Petisi Siak merupakan sebuah aktualisasi dari usulan serupa yang diteriakkan oleh berbagai pihak, dari sejak zaman Orde Lama, Orde Baru, hingga masa awal Reformasi, dalam rentang waktu lebih dari setengah abad. Bahkan dalam Kongres Kebudayaan di Yogyakarta, tahun 2013, usulan dan harapan itu masih ”nyaring bunyinya”.
Bahkan, tidak sedikit mereka yang bersuara perlu adanya Kementerian Kebudayaan yang sudah putus asa mengingat suara-suara itu sudah ada sejak zaman Presiden Soeharto, Presiden Habibie, Presiden Gus Dur, Presiden Megawati, hingga Presiden Susilo Bambang Yudoyono dan Preisden Joko Widodo tapi selalu kandas di tengah jalan.