Ada Bidar di Palembang, ada Pacu Jalur di Kuansing
Versi yang lain menyebutkan, istilah bidar diperkenalkan Komisaris Regulasi Hindia Belanda di Palembang bernama JI Sevenhoven tahun tahun 1821. Istilah ini mengganti penyebutkan nama “pancalang” yang digunakan penguasa Palembang masa itu.
Di Sumsel lomba bidar selain ada di Palembang, juga ada di daerah lainnya seprti di Kabupate Musi Banyuasin (Muba) yang berlangsung di sungai Batanghari Leko. Lomba bidar juga di Kabupaten Ogan Ilir (OI) tepatnya di Desa Burai sebuah desa wisata yang tidak jauh dari Palembang yang menyelenggarakannya sebagai salah satu atraksi wisata.
Di Palembang juga dikenal adanya kampung pendayung bidar, yakni beberapa kampung yang berada di tepian sungai Musi dan sungai lainnya. Kampung ini melahirkan para pendayung perahu bidar yang andal. Seperti Kampung Keramasan di tepi sungai Keramasan, anak sungai Musi. Kampung Kertapati yang berada di tepi sungai Ogan, anak sungai Musi. Kemudian 1 Ulu, Kampung Tangga Buntung yang banyak melahirkan pendayung bidar.
Pacu Jalur
Serupa tapi tak sama dengan lomba bidar, di Kabupaten Kuantan Singingi, Provinsi Riau ada lomba pacu jalur, yang sama-sama mengunakan perahu berukuran panjang dengan pendayung lebih dari 10 orang pendayung setiap timnya. Mereka berpacu, mendayung adu cepat sampai di garis finish.
Bagi masyarakat Kuantan Singingi, pacu jalur merupakan salah satu budaya turun temurun yang masih ada sampai sekarang. Lomba pacu jalur biasanya diadakan pada bulan Agustus setiap tahunnya sebagai bagian merayakan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia.
Menurut Hendri Marhadi dan Erlisnawati dalam “Nilai Karakter Dalam Budaya Pacu Jalur Pada Masyarakat Teluk Kuantan Provinsi Riau” (2017), pacu jalur di Teluk Kuantan adalah suatu tradisi budaya yang telah berlangsung dari zaman penjajahan hingga sekarang. Pacu jalur tidak hanya masuk dalam agenda wisata budaya Provinsi Riau tapi sudah masuk dalam agenda wisata budaya Nasional.