Home > Lingkungan

Rp271 Triliun Mega Korupsi dari Pulau Timah

Jika nilai kerugian negara dalam korupsi timah tersebut benar ditemukan sebesar Rp271 triliun, maka ini termasuk korupsi kelas kakap atau mega korupsi.

Tambang Inkonvensional di laut juga memicu konflik karena mendapat penolakan dari nelayan. (FOTO: Maspril Aries)
Tambang Inkonvensional di laut juga memicu konflik karena mendapat penolakan dari nelayan. (FOTO: Maspril Aries)

Tambang Inkonvensional (TI) tumbuh subur yang diikuti perkembangan smelter swasta yang melebur timah dan melakukan ekspor logam timah tanpa merk (unbranded). Penyelundupan terak dan bijih timah pun marak, tata niaga timah semakin tidak sehat, di pasaran terjadi kelebihan penjualan (over supply). Produksi tidak lagi dikontrol oleh kuota tetapi harga, yaitu harga bebas dari “pasar bebas”.

Kondisi tersebut menurut Bambang secara makro ekonomi nasional, kerugian negara dari royalti (3%) diperkirakan mencapai US$ 13.500.000 per tahun, belum termasuk pajak dan retribusi pertambangan lainnya. Sementara itu, kerusakan dan penurunan kualitas lingkungan membutuhkan anggaran pengelolaan lingkungan sekitar US$ 4.500.000 per tahun.

Kerakusan dari penambangan timah telah nyata merusak lingkungan di Babel yang terus meluas walau ada reklamasi. Kerusakan lingkungan kata Koesnadi Hardjasoemantri (alm.) Guru Besar Hukum Lingkungan yang juga mantan Rektor Universitas Gajah Mada (UGM), adalah pengaruh sampingan dari tindakan manusia untuk mencapai suatu tujuan yang mempunyai konskuensi terhadap lingkungan.

“Dampak negatif akibat maraknya kegiatan TI terutama adalah kerusakan lingkungan yang sangat parah, kekacauan penggunaan tata ruang akibat perubahan peruntukan lahan, timbulnya kolong-kolong air, degradasi tanah dan lingkungan, serta ketidakpastian masa depan kehidupan masyarakat Bangka, bila cadangan potensi bijih timah itu habis”, tulis Bambang Yunianto 15 tahun lalu.

Penelitian lainnya oleh Indra Ibrahim berjudul “Dampak Penambangan Timah Ilegal yang Merusak Ekosistem di Bangka Belitung” (2015) menyebutkan, kerusakan lingkungan tidak hanya terjadi di daratan yang hutannya hancur, lubang galian menganga terisi air yang oleh penduduk lokal disebut kolong (danau kecil) yang menjadi sarang berkembang biaknya nyamuk malaria di seluruh wilayah Bangka Belitung.

Tetapi juga di pantai yang menyebabkan rusaknya keindahan pantai yang semula berpasir putih bersih dan berair jernih menjadi kotor dan air lautnya menjadi keruh oleh kandungan lumpur limbah tambang yang terbawa sungai kelaut.

Hutan bakau (mangrove) mati dan juga terumbu karang hancur oleh sedimen lumpur limbah penambangan timah didarat yang terbawa ke laut atau juga limbah dari penambangan timah di laut yang menggunakan kapal keruk, kapal isap dan TI apung.

× Image