Rp271 Triliun Mega Korupsi dari Pulau Timah
Kehadiran perusahaan-perusahaan tambang swasta baru dan penambangan TI telah mampu menyaingi produksi kedua perusahaan lama yang memonopoli bisnis ini sejak lama. Pada saat yang sama, sistem penambangan baru itu sangat rakus, mencari keuntungan secepat mungkin dalam waktu yang relatif singkat tanpa memperhatikan dampak lingkungan.
“Akibatnya, pulau Bangka berada diambang kritis, dan debat-debat mengenai liberalisasi penambangan, pemasaran timah dan kerusakaan lingkungan muncul. Terdapat saling tuduh antara perusahaan lama dan baru yang masing-masing mereka menganggap diri legal dan yang lain ilegal”, tulis penulis buku “Dari Pembentukan Kampung ke Perkara Gelap – Menguak Sejarah Timah Bangka Belitung”.
Maraknya Tambang Inkonvensional (TI) menurut Bambang Yunianto dari Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara dalam “Kajian Problema Pertambangan Timah Di Propinsi Kepulauan Bangka Belitung Sebagai Masukan Kebijakan Pertimahan Nasional” (2009) tidak terlepas dari kondisi krisis ekonomi nasional, juga perubahan situasi politik melalui proses reformasi yang memberikan ruang gerak demokrasi dan aspirasi masyarakat untuk pemulihan ekonomi, serta terjadinya perubahan yang mendasar dalam tata niaga timah nasional, yang diikuti pula dengan penerapan kebijakan otonomi daerah (otda), yaitu kabupaten/kota memiliki kewenangan pengaturan daerahnya sendiri.
Menurut Bambang, selain otonomi daerah, terbitnya sejumlah regulasi oleh pemerintah pusat melalui Kementerian Perindustrian dan Perdagangan dan Peraturan Daerah (Perda) memberi peluang yang luas bagi TI dan perkembangan industri pengolahan timah (smelter) di daerah.
Berbagai Perda di Babel dilatarbelakangi oleh kebijakan pembangunan daerah yang berorientasi peningkatan PAD (Pendapatan Asli Daerah) sehingga pengelolaan pertambangan menganut asas konservasi radikal, “gali terus selagi harga tinggi” tanpa dibarengi pengelolaan lingkungan yang memadai.