Memutus Mata Rantai Kepunahan Harimau Sumatera (Bagian 2 - Habis)
KAKI BUKTI – Ada pepatah yang sangat terkenal di tengah masyarakat, “Manusia mati meninggalkan nama, harimau mati tinggalkan belang.” Tapi, tidak demikian halnya dengan nasib Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), yang terancam mati meninggalkan kepunahan.
Seperti yang terjadi di Jorong Tikalak, Tanjung Beringin, Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat (Sumbar), seekor Harimau Sumatera diperkirakan berusia dua tahun mati usai terkena jerat babi. Kematian ini satu persatu akan menuju pada kepunahan harimau Sumatera seperti yang terjadi pada suadaranya harimau Jawa dan harimau Bali yang telah dinyatakan punah dari muka bumi.
Membuka arsip lama termasuk arsip digital maka akan ditemukan ada banyak kisah, cerita dan berita tentang pembantaian terhadap harimau Sumatera yang sudah berlangsung lama. Harimau Sumatera diburu, dibunuh bahkan dengan sadis, di berbagai kawasan hutan, seperti kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) yang membentang wilayahnya dalam Propinsi Sumatera Selatan (Sumsel), Jambi, Sumatera Barat (Sumbar) dan Bengkulu.
Harimau Sumatera yang oleh masyarakat di Sumatera ‘dihormati’ seperti di Sumatera Barat (Sumbar) dengan panggilan “inyik balang” dibantai dengan cara diracun dan dijerat. Di Indonesia dalam legenda cerita masyarakat, harimau belang atau harimau loreng dianggap simbol keperkasaan. Masyarakat demikian hormatnya dengan raja hutan ini. Bahkan di beberapa daerah ada ketentuan tidak boleh menyebut langsung namanya.
Di Tapanuli, Sumatera Utara orang menyebut harimau dengan panggilan Babait, bahkan kalau saat berada di tengah hutan sebutannya diganti dengan “Raja Patemba.” Ada daerah di Jawa yang mengaitkan keberadaan harimau dengan legenda penjelmaan Raja Padjadjaran, yaitu Prabu Siliwangi dan pengikutnya.
Walau pun dihormati, pembantaian terhadap harimau terus berlangsung. Sejak 1990 ada banyak cara untuk membantai Harimau Sumatera, seperti dengan cara memberikan racun dalam bangkai hewan babi hutan yang menjadi umpannya. Para pemburu menaburkan racun jenis nematisida dan insektisida yang mengandung bahan aktif aldikrab 10 persen.
Pernah terjadi pada Agustus 1999 Harimau Sumatera ditemukan empat ekor mati dengan cara diracun dan dijerat. Pembantaian terjadi di Muara Labuh, Kabupaten Solok, empat ekor harimau itu tewas di tangan empat orang pemburu yang mengaku mendapat upah dari tauke yang bermukim di Kabupaten Sarolangun Bangko (Sarko) Jambi.
Kemudian tulang dan kulit Harimau Sumatera itu dijual ke Bangko dengan harga Rp3,8 juta/ lembar. Peristiwa pembantaian tersebut terungkap setelah salah seorang pemburu bercerita ke tetangganya karena kecewa hanya mendapat pembagian Rp75.000. Berbekal cerita tersebut, polisi menangkap kawanan pembantai harimau tersebut.
Penadah bangkai harimau Sumatera ada yang berani membeli kulit harimau dengan harga berkisar Rp4,5 sampai Rp15 juta. Tulangnya dibeli dengan harga antara Rp500 - Rp1 juta. Bagian tubuh atau tulang harimau yang digunakan untuk obat. Siapa yang tak tergiur dengan uang sebesar itu yang dianggap cara mudah mendapatkan uang?
Dari data WWF (World Wide Fund for Nature) mencatat, Indonesia selama periode 1973 - 1992 telah mengekspor 4.094 kg tulang harimau. Indonesia termasuk pengekspor tulang harimau nomor satu ke Korea Selatan. Dengan asumsi satu ekor harimau Sumatera memiliki 8 kg tulang, diperkirakan 511 ekor harimau di Indonesia telah terbunuh.
Apa yang terjadi di Sumatera Barat tersebut berbeda dengan di Lampung. Di daerah ujung Selatan Sumatera ini, harimau Sumatera ini justru ditakuti masyarakat dan ‘diternakan’ di wilayah konservasi Tambling Provinsi Lampung.
Di Lampung harimau Sumatera yang biasa hidup tenang di dalam hutan kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) dan kawasan hutan lainnya, kini hewan berkaki empat tersebut marah dan beringas.
Akibat kemarahan tersebut ada warga yang tewas diterkam raja hutan tersebut. Harimau Sumatera yang marah tersebut bukan sekedar lakon, harimau dibantai manusia, harimau balas memangsa manusia. Namun yang pasti, murkanya harimau Sumatera tersebut akibat kerusakan hutan yang menimbulkan gangguan keberadaan kekayaan hayati nasional, serta terusiknya satwa liar yang kemudian menimbulkan gangguan terhadap manusia.
Kini selain habitat Harimau Sumatera yang semakin sempit, perburuan yang meningkat, jelas menimbulkan kekhawatiran. Apakah harimau Sumatera ini akan bernasib sama seperti harimau Jawa, harimau Bali atau harimau Kaspia yang sudah punah dari muka bumi?
Akibat ancaman kepunahan tersebut karena perburuan dan pembantaian yang terus berlangsung, sebuah badan dunia yang peduli terhadap kelestarian harimau Sumatera ini, yaitu WWF menaruh perhatian besar kepada nasib si inyik balang ini.
Seorang pakar harimau yang juga koordinator proyek konservasi WWF-IP (Indonesia Program), Ron Lilley pernah mengungkapkan, “Meski informasi mengenai populasi harimau Sumatera sangat sedikit, setiap tahunnya diperkirakan ada 14 ekor harimau dibunuh.”
WWF juga mencatat pembantaian terhadap Harimau Sumatera ini selain karena perburuan liar, harimau juga kerap dianggap hama bagi warga sekitar hutan yang sering memangsa ternak mereka, jadi harus dibunuh. Warga pun membunuh Harimau Sumatera ini dengan menggunakan racun.
Mitos dan Uang
Pembantaian harimau Sumatera oleh warga di sekitar TNKS terjadi karena kebanyakan warga dan para pemburu tergiur dengan mahalnya harga jual kulit harimau dan tulangnya. Bayangkan harga jual kulit seekor harimau Sumatera yang sudah dibantai dan dikuliti bisa mencapai Rp 15 juta. Pada masa ekonomi yang sulit, siapa yang tak berminat dengan uang sebesar itu.
Lain halnya kalau yang dijual harimau yang masih hidup dan dijual ke luar negeri. Sebagai satwa yang dilindungi, harimau sering diselundupkan ke luar negeri dari negara asalnya bisa dijual dengan harga mencapai US$ 65.000 per ekor. Sedang harga kulitnya mencapai US$ 15.000. Bahkan harga semangkuk sup dari batang kemaluan harimau, yang dipercaya bisa menjadi obat pendorong gairah seks dengan harga US$ 350.
Selain uang, apa yang mendorong orang memiliki kulit harimau atau tulang harimau? Ini tidak terlepas dari mitos yang beredar dalam masyarakat di daratan Cina yang meyakini, tulang harimau memiliki manfaat pengobatan yang besar khasiatnya.
Dalam dunia pengobatan tradisional Timur dikenal nama os tigris atau dalam bahasa Mandarin disebut hu gu, dan dalam bahasa Korea ho gul atau kokotsu istilah dalam bahasa Jepang, yang diyakini bisa menyembuhkan penyakit rematik.
Penggunaan tulang atau tubuh harimau sebagai bahan obat di Asia bukan fenomena baru. Orang Asia sudah menggunakannya lebih dari 1.000 tahun lalu. Dalam referensi Collections of Commentaries on Classic of Materia Medica mencatat, penggunaan tulang harimau sebagai obat di Cina telah berlangsung 500 tahun setelah masehi.
Mitos tersebut dan uang telah mendorong semakin banyak harimau yang diburu, dibantai untuk diambil tulang dan kulitnya. Korea Selatan sendiri tercatat sebagai pengimpor tulang harimau terbesar di dunia. Dari tahun 1973 - 1993, negeri ginseng telah mengimpor tulang harimau sebanyak 8.981 kg dari berbagai negara. Suplai dari Indonesia mencapai 44,5 persen atau sekitar 3.994 kg.
Perlu upaya penegakan hukum serius terhadap mereka pembantai harimau ini. Mungkin saja ada yang diadili ke pengadilan, namun yang terjadi aksi pembantaian tetap terjadi karena ada tawaran dari pedagang penampungnya.
Kolaborasi kerusakan hutan dan lingkungan dengan mitos dan kebutuhan ekonomi telah mendorong mungkin akan mempercepat kepunahan Harimau Sumatera. Saatnya mengambil tindakan tanya menyelematkan dan melindungi Harimau Sumatera. Berbagai wacana dan forum sudah kita gelar sejak puluhan tahun lalu, kini saatnya berbuat nyata. Konservasi ekosistem satu kata kunci untuk melindungi dan menyelamatkan Harimau Sumatera.
Menurut Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya, Indonesia membuat sejumlah capaian positif dalam perlindungan keanekaragaman hayati. Berbekal kebijakan untuk mengendalikan laju deforestasi, meredakan kebakaran hutan dan lahan, serta implementasi rencana aksi perlindungan keanekaragaman hayati, sejumlah satwa terancam punah berhasil dinaikan populasinya. Kenaikan populasi ini merupakan hasil pantauan di 273 titik.
Diantaranya, jalak Bali (Leucopsar rothschildi) di Bali Barat yang populasinya naik dari 31 individu pada tahun 2015 menjadi 191 individu pada tahun 2019. Demikin juga untuk harimau Sumatera (Panthera tigris sumaterae) di Taman Nasional Gunung Leuser, Kerinci Seblat, Berbak Sembilang, dan Bukit Barisan Selatan yang populasinya naik dari 0,07 individu per hektare (ha) di tahun 2013 menjadi 1,24 individu per ha pada tahun 2018. (maspril aries)