Home > Teknologi

Tentang Fenomena Mengemis di Media Sosial

Mengemis di Medsos Sebagai fenomena yang sudah lama ada di jagat maya, sempat memunculkan pro dan kontra.

Ilustrasi Mengemis media sosial. (FOTO: Luma AI)
Ilustrasi Mengemis media sosial. (FOTO: Luma AI)

Fenomena mandi lumpur ini akhirnya banyak menuai pro dan kontra di masyarakat, menurut mereka yang menentang, konten mandi lumpur selain dianggap sebagai eksploitasi terhadap orang tua juga dianggap sebagai cara mengemis model baru atau mengemis secara online.

Tayangan live mandi Lumpur pemilik akun TikTok @intan_Komalasari menunjukkan banyak sekali penonton atau viewers yang menonton dan memberikan gift terhadap aksi tersebut sehingga mereka para konten kreator semakin terkenal dan viral dan semua yang mereka lakukan demi uang.

Penggunaan talent nenek-nenek menarik minat penonton, sehingga penonton yang melihat aksi nenek dengan mandi lumpur dan berendam selama berjam-jam, merasa iba dan kasihan sehingga mereka memberikan berbagai macam gift kepada akun yang melakukan siaran langsung tersebut. Dari rasa iba penonton tersebut konten kreator memanfaatkannya sebagai ladang mencari uang sebanyak-banyaknya.

Gift atau hadiah yang didapatkan selama live dikumpulkan kemudian ditukarkan dengan sejumlah uang sesuai dengan jumlah poin dari gift tersebut. Permintaan gift kepada penonton tak ubahnya sama seperti halnya mengemis uang tapi bedanya dilakukan secara online”, tulis Wardatul Jannah dan Nova Saha Fasadena.

Lalu konten mandi lumpur banyak ditiru konten kreator lainnya, di TikTok mereka memanfaatkan para lansia yang mandi lumpur dan diguyur air dengan harapan para audiens tayangan live streaming memberikan gift atau hadiah. Kemudian Kementerian Kominfo melalui Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik, Usman Kansong meminta platform TikTok untuk melakukan take down atau penurunan konten terkait aktivitas mengemis online yang tengah marak tersebut.

“Konten live streaming yang berusaha menarik empati audiens tersebut dapat dikategorikan sebagai eksploitasi kemiskinan untuk dijadikan komoditas berharga. Para pelaku TikTok live berusaha untuk meraup keuntungan dari gift yang diberikan audiens. Konten semacam ini semakin dilanggengkan dengan andil audiens yang turut memberikan gift. Hal ini dapat membuat para pembuat konten dimanjakan dan terus mempraktikkan tindakan eksploitasi semacam ini”, tulis Jatayu Bias Cakrawala dan kawan-kawan dalam penelitiannya “Komodifikasi Empati: Eksplorasi Fenomena ‘Ngemis dan Nyawer’” (2024).

× Image