75 Tahun Harris Effendi Thahar dan Nasib Sastra Koran
“Karya sastra (cerita pendek) memberikan sudut pandang estetis terhadap persoalan kehidupan yang terjadi dalam masyarakat. Dengan demikian, karya sastra dapat digunakan untuk memahami fenomena budaya masyarakat yang dijadikan latar cerita” tulis Jasril dalam “Penentangan Kaum Muda Minangkabau Terhadap Budaya Minangkabau Dalam Cerpen Harian Kompas” (2017).
Menurut Harris sendiri dalam disertasinya “Kekerasan dalam Cerpen-cerpen Koran Pilihan Kompas 1992-1999; Suatu Tinjauan Struktural Genetik” yang dipertahankannya pada 29 September 2006 di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) menyatakan, sastra merupakan refleksi suatu zaman.
Proses kreatif Harris Effendi Thahar dalam menulis cerpen adalah refleksi dari perpaduan antara pengamatan tajam terhadap kehidupan dan kedalaman berpikir. Ia dikenal sebagai penulis yang memiliki kemampuan untuk menangkap detail-detail kecil dari kehidupan sehari-hari dan mengolahnya menjadi cerita yang memikat.
Sastra Koran
Ada banyak cerpen karya Harris Effendi Thahar dan karya sastrawan hebat Indonesia era 70 dan 80-an yang sebagian besar terbit di berbagai surat kabar atau koran dan sebagian kecil di majalah sastra seperti majalah Horison yang sudah tidak terbit, sebelum media daring atau media online lahir. Cerpen tersebut kemudian disebut sebagai sastra koran.
Pada masa itu, atau era sebelumnya tidak dapat dibantah bahwa surat kabar atau koran berperan dalam memasyarakatkan sastra secara umum. Istilah “Sastra Koran” pertama kali diperkenalkan oleh Ariel Heryanto untuk menggambarkan fenomena karya sastra yang diterbitkan di media massa, terutama koran.
Istilah sastra koran biasanya dipakai untuk menjelaskan/ mengacu pada prosa, puisi atau drama yang diterbitkan dalam koran. Menurutnya, sejak awal kebangkitan sastra Indonesia telah menerima jasa penerbitan koran. Sumbangan koran bagi sastra berlanjut terus sejak masa sastra mutakhir Indonesia mulai muncul.
“Sungguh mengherankan sampai kini masih banyak pencinta sastra kita telah meremehkan koran! Penilaian untuk sastra cenderung muluk-muluk. Sementara itu kekuatan koran dianggap enteng”, tulis Ariel Haryanto dalam artikelnya berjudul “Sastra, Koran dan Sastra Koran” yang terbit di koran harian Sinar Harapan, 12 Januari 1985.