Home > Literasi

75 Tahun Harris Effendi Thahar dan Nasib Sastra Koran

Sekitar tahun 1985 mula-mula mengenal nama Harris Effendi Thahar dari sebuah surat kabar terbesar koran di Indonesia pada masa itu.

Perayaan 75 Tahun Prof Harris Effendi Thahar “Si Padang”. (FOTO: FB Yurnaldi)
Perayaan 75 Tahun Prof Harris Effendi Thahar “Si Padang”. (FOTO: FB Yurnaldi)

Sebelum koran atau media massa cetak memasuki masa senjakala, pada era 1970-an hingga 1990-an, media cetak (koran) memainkan peran penting dalam mempublikasikan karya sastra, termasuk cerpen dan puisi. Hal ini membuka peluang bagi banyak penulis, termasuk Harris Effendi Thahar, untuk menyampaikan ide-idenya kepada khalayak luas.

Sastra Koran memiliki beberapa karakteristik unik. Pertama, karya yang diterbitkan di koran biasanya memiliki keterbatasan ruang, sehingga menuntut penulis untuk menyampaikan cerita dengan singkat namun tetap bermakna. Kedua, cerpen di koran sering kali harus relevan dengan isu-isu kontemporer, menjadikannya media yang dinamis untuk mengomentari realitas sosial.

Harris Effendi Thahar adalah salah satu penulis yang berhasil memanfaatkan platform ini. Cerpen-cerpennya yang diterbitkan di berbagai koran menjadi cerminan dari kepekaannya terhadap isu sosial dan kemampuannya untuk mengemas cerita dalam format yang singkat namun mendalam.

Pada tahun 2007, seorang penyair Binhad Nurrohmat dalam artikelnya “Mendustai Sastra Koran” menulis bahwa sastra koran sama sekali bukan sejenis definisi sastra. Sastra koran merupakan suatu fenomena penciptaan literer yang luwes berkaitan, berkelindan, serta bertarik-ulur dengan suatu medium bernama koran yang menyimpan watak dalam dirinya yang senantiasa dinamis pada munculnya kemungkinan-kemungkinan perkembangannya sebagaimana dinamisnya bahasa dan cara kita memandang dan merumuskan manusia dan dunia.

Artikel ini mendapat tanggapan dari Sunaryono Basuki Ks cerpenis dan novelis menulis, bahwa sastra koran memang bukan genre sastra, tetapi hanya sekadar label yang menandai bahwa cerpen atau esai atau novel tersebut telah diterbitkan di koran. Tentu saja, saat terbit menjadi buku, mendadak dia menjadi sastra buku?

Dalam perspektif berbeda Putu Fajar Arcana yang pernah menjabat redaktur budaya Kompas, menyatakan, “Ruang sastra di koran mulai dianggap serius justru akibat kian redupnya majalah-majalah yang memuat sastra dan budaya, sebut saja Poedjangga Baroe, Budaya, Prosa, termasuk Horison Sastra koran tidak bisa lagi dianggap sepele. Pertumbuhan dan perkembangan sastra dilihat dari koran-koran” (2016).

Namun sastra koran kini sudah mulai dilupakan, nasibnya sama dengan senjakalanya koran atau surat kabar yang tutup atau tidak terbit lagi setelah sebelumnya banyak rubrik sastra, budaya dan seni yang tergusur karena koran mengurangi halamannya. (maspril aries)

× Image