Home > Politik

Pesan Pilkada: Waspada dengan Calon yang Hobi Survei dan Pencitraan

Coba perhatikan penampilan para calon kepala daerah yang menonjol bukan karena gagasan atau program kerja, melainkan karena citra yang mereka ciptakan melalui media massa, media sosial, iklan, dan perangkat komunikasi politik lainnya.

Kampanye pilkada melalui media sosial. (FOTO: IG @kpuprovinsisumsel)
Kampanye pilkada melalui media sosial. (FOTO: IG @kpuprovinsisumsel)

Bentuk Pencitraan

Politik pencitraan dalam prakteknya bisa dilihat dari beberapa bentuk pencitraan yang diciptakan atau melibatkan kandidat kepala daerah. Menurut Kamaruddin Hasan dalam “Komunikasi Politik dan Pecitraan (Analisis Teoritis Pencitraan Politik di Indonesia)” (2009), biasanya bentuk pencitraan politik yang dilakukan terbagi dalam dua strategi, yaitu Incumbent vs Challenger. Yang pertama menunjukkan pencapaian sehingga perlu untuk diteruskan. Adapun yang kedua menunjukkan kegagalan-kegagalan kebijakan pemerintah atau pemerintah daerah periode sebelumnya sehingga tema kampanyenya adalah perubahan untuk digantikan secara konstitusional.

Dalam prakteknya politik pencitraan sang kandidat bisa terlihat dari beberapa bentuk, di antaranya, seperti “citra merakyat”, “citra pemimpin tegas dan kuat” dan “citra religius dan berintegritas”.

Citra merakyat adalah salah satu bentuk pencitraan yang paling sering dijumpai saat musim pilkada tiba. Sang kandidat “berakting” untuk menunjukkan bahwa mereka dekat dengan rakyat pemilih dan memahami kebutuhan rakyat kecil. Maka sang kandidat datang berkunjung ke pasar tradisional ada yang menyebutknya blusukan, bertanya ini dan itu, mendengar keluhan pedagang dan pembeli seperti tentang harga-harga kebutuhan pokok yang mahal, sampai berfoto bersama pedagang kaki lima, dan membagikan bantuan sembako secara langsung.

Faktanya, tindakan semacam ini sering kali hanya dilakukan untuk keperluan kampanye. Pasca pilkada kemana sang kandidat karena tak terlihat di pasar, kondisi pasar yang memprihatinkan tak kunjung berubah. Citra merakyat tersebut tidak melahirkan kebijakan yang nyata dan berkelanjutan, alasannya “Pasar akan kita renovasi tahun depan” faktanya sampai akhir masa jabatan itu akan menjadi “gimmick” politik belaka.

Kemudian tentang citra pemimpin tegas dan kuat hanya ditampilkan untuk menampilkan diri sebagai pemimpin yang tegas dan kuat. Pola pencitraan ini ditampilkan dengan retorika yang keras, menekankan pentingnya disiplin, penegakan hukum, dan ketegasan dalam mengambil keputusan. Dibumbui dengan “akting” aksi-aksi demonstratif, seperti inspeksi mendadak (sidak) ke kantor pemerintah atau proyek pembangunan, untuk menunjukkan bahwa mereka serius dalam menangani masalah.

Ternyata semua itu hanya tampak di permukaan dan bukan cermin gaya kepemimpinan sang kandidat yang asli. Apa yang dilakukannya agar menjadi perhatian media massa termasuk media sosial. Sang kandidat berusaha tampil agar bisa menjadi media darling belaka.

× Image