Home > Politik

Pesan Pilkada: Waspada dengan Calon yang Hobi Survei dan Pencitraan

Coba perhatikan penampilan para calon kepala daerah yang menonjol bukan karena gagasan atau program kerja, melainkan karena citra yang mereka ciptakan melalui media massa, media sosial, iklan, dan perangkat komunikasi politik lainnya.

Ilustrasi kampanye. (FOTO: pixabay.com)
Ilustrasi kampanye. (FOTO: pixabay.com)

Menurut Anang Anas dalam “Komunikasi Politik untuk Pencitraan Konsep, Strategi dan Pencitraan Politik” (2017), pencitraan yang awalnya identik dengan kegiatan kehumasan (public relations) dalam dunia bisnis, bergeser pada kegiatan politik, sehingga dinamika perpolitikan erat dengan istilah pencitraan. Salah satu tujuan komunikasi politik adalah membentuk citra yang baik pada khalayak. Citra terbentuk berdasarkan informasi yang diterima, baik langsung maupun tidak langsung, misalnya dari media.

“Pencitraan berasal dari kata citra yang didefinisikan para pakar secara berbeda-beda dan pada hakikatnya sama maknanya”, tulis Anang Anas. Pemaknaan citra merupakan hal yang abstrak, karena citra tidak dapat diukur secara sistematis meskipun wujudnya dapat dirasakan baik positif maupun negatif. Penerimaan dan tanggapan, baik positif maupun negatif tersebut datang dari publik atau khalayak. Citra terbentuk sebagai akumulasi dari tindakan maupun perilaku individu yang kemudian mengalami suatu proses untuk terbentuknya opini publik yang luas.

Citra dan pencitraan, menurut Yasraf Amir Piliang seorang pemikir sosial dan kebudayaan dalam “Pasar Bebas Politik” (2012), yang sejatinya merupakan cara kerja kapitalisme kini jadi cara kerja politik demokratis. Akibatnya, strategi pengemasan, pencitraan, hiburan, seduksi, sensualisme, eye catching, dan simulasi kini jadi ”bahasa politik”.

Arie Sujito dalam “Pencitraan dan Emansipasi Pemilih” (2013) melengkapi dengan pernyataan, “Politik pencitraan ada yang berbasis survei”. Politik pencitraan model yang satu ini populer di Indonesia karena dua hal. Pertama, kemampuan rekayasa dan analisis olah realitas melalui ”angka”, seperti produk survei dan polling atas suatu kandidat. Kedua, pemanfaatan media massa yang masif dengan membangun citra, mampu merebut ruang ”diskursus”.

“Politik pencitraan berbasis survei biasanya juga mengandalkan bumbu analisis bombastis, melampaui realitas sesungguhnya. Cara semacam itu masih terus digandrungi banyak politisi dan tim sukses dalam meraup dukungan dalam elektoral”, tulis Sosiolog dari UGM.

× Image