Home > Politik

Pesan Pilkada: Waspada dengan Calon yang Hobi Survei dan Pencitraan

Coba perhatikan penampilan para calon kepala daerah yang menonjol bukan karena gagasan atau program kerja, melainkan karena citra yang mereka ciptakan melalui media massa, media sosial, iklan, dan perangkat komunikasi politik lainnya.

Ilustrasi kampanye sang kandidat. (pixabay.com)
Ilustrasi kampanye sang kandidat. (pixabay.com)

Jadilah pemilih tidak masuk dalam jebakan politik pencitraan yakni cenderung memilih berdasarkan perasaan atau impresi singkat yang mereka peroleh dari kampanye media. Tetaplah waspada, jadilah pemilih independen dan cerdas, walau pemilih seperti ini sering dipandang dengan sinis bahkan disebut naif.

Jangan pula terjebak dalam politik pencitraan yang berbasis survei atau polling yang ngetren. Menurut Arie Sujito, politik pencitraan model ini memiliki dua kelemahan mendasar. Pertama, pola itu tidak mampu mengubah harapan demokrasi yang berkualitas. Itu karena kekuasaan yang terbangun hasil ”olah angka” biasanya tak sehebat yang dicitrakan: kenyataan tak seindah tafsir angka. Kedua, pemilih yang kian jenuh dalam menyaksikan kepalsuan politik. Mereka kadang memiliki nalar yang berbeda dengan politisi, terutama ketika menemukan alternatif baru dalam figur perubahan.

Sisi lain dari politik pencitraan berpotensi mengaburkan isu-isu substansial yang seharusnya menjadi fokus utama dalam Pilkada. Ketika perhatian publik terlalu banyak diarahkan pada penampilan, citra, dan tindakan simbolis, isu-isu penting seperti pembangunan infrastruktur, layanan publik, pendidikan, dan kesejahteraan sosial bisa terabaikan.

Calon kepala daerah yang lebih fokus pada pencitraan cenderung menghindari debat kebijakan yang mendalam dan lebih memilih mempromosikan diri mereka melalui narasi yang dangkal tetapi populer di kalangan pemilih. Proses politik yang terjadi lebih tentang siapa yang yang paling menarik, paling ganteng, paling cantik di mata publik daripada siapa yang memiliki kemampuan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat.

Berdasarkan pengalaman dari banyak kontestasi politik yang telah berlangsung pasca reformasi, sebagai pemilih harus waspada dengan kandidat yang terlalu fokus pada pencitraan karena berpotensi merusak kualitas demokrasi. Dalam demokrasi yang sehat, proses politik seharusnya ditentukan oleh perdebatan tentang gagasan, program kerja, dan kebijakan yang diusulkan oleh para calon kepala daerah. Jangan terjebak pada politik pencitraan yang dapat menyesatkan pemilih.

Jadilah pemilih yang tidak hanya fokus pada penampilan luar atau persona yang dibangun secara artifisial oleh calon kepala daerah. Menjadi pemilih independen dan cerdas adalah solusi keluar dari jebakan politik pencitraan. (maspril aries)

× Image