Opini Publik dan Persepsi Pemilih dalam Pilkada
Opini publik merupakan perwujudan dari sebuah demokrasi dan menentukan sehat tidaknya sebuah demokrasi di dalam suatu pemerintahan. Opini publik sering dikatakan sebagai kekuatan politik dan menjadi dasar negara demokrasi.
Untuk mendiskusikan lebih lanjut tentang opini publik, mari menelusuri dari sejarahnya. Istilah opini pertama kali digunakan politis Inggris Sir Robert Peel tahun 1820 ketika ia berpendapat, “that great compound of foly, weekness, prejudice, wrong feeling, right feeling, obstinacy, and news paper paragraphs, which we called public opinion”. Definisi ini menunjukkan bahwa definisi opini publik cenderung bermakna negatif dan irasional.
Kemudian opini publik juga sudah disinggung oleh pujangga William Shakespeare, yang menyebut opini publik sebagai misstres of success atau “si nyonya sukses”.
Menurut Denny JA, opini publik istilah yang lahir di era modern. Istilah ini hanya kuat dalam masyarakat politik yang sudah mengalami urbanisasi. Pertama kali istilah ini digunakan oleh pemikir di abad 16-17. John Locke termasuk yang pertama menggariskan pentingnya opini publik.
John Locke dalam risalahnya, An Essay Concerning Human Understanding, menyatakan bahwa manusia tunduk pada tiga hukum, yaitu hukum ilahi, hukum perdata dan hukum pendapat atau reputai. Menurut Locke, hukum pendapat sebagai yang paling penting karena mau tidak mau, orang dianggap perlu untuk menyesuaikan perilaku mereka dengan norma-norma sosial (pendapat umum).
Persepsi Pemilih
Datangnya era demokrasi, tulis Denny JA, membuat opini publik semakin penting. Siapa penguasa yang akan diturunkan atau dipilih tergantung dengan opini publik. Di era demokrasi, menjadi penguasa dimulai dengan menguasai opini publik. Pertarungan kekuasaan juga terekam dalam opini publik.