Home > Budaya

Salim Said Kritikus Film: Film yang Baik Tidak Menyakitkan Otak

Sebagai kritikus film yang sekaligus wartawan film, Salim Said adalah jurnalis yang sangat tekun mengamati pertumbuhan film Indonesia.

Buku
Buku "Pantulan Layar Putih" yang dibubuhi tanda tangan Salim Said. (FOTO: Maspril Aries)

Perjumpaan saya pertama kali dengan Salim Said terjadi tahun 1992 saat dia menjadi pembicara pada sebuah diskusi film di Taman Budaya Bandarlampung. Buku “Pantulan Layar Putih” yang saya beli, saya minta dibubuhkan tanda tangannya, tertanggal 12 Agustus 1992.

Bagaimana seorang Salim Said yang merantau ke Jawa pada saat usia 16 tahun bisa menjadi kritikus film? Untuk menjadi kritikus film tentu harus menonton film, bagaimana mau menulis kritik terhadap sebuah film jika tidak menonton filmnya? “Jika kita berbicara tentang kritik, tidak bisa tidak, kita pun harus berbicara mengenai obyek kritik itu”, tulis Salim Said dalam buku “Pantulan Layar Putih”.

Dalam perantauannya, Salim Said terlibat pelbagai kegiatan: sastra, teater, film dan jurnalistik. Salim Said pernah belajar di ATNI (Akademi Teater Nasional Indonesia) 1964 -1965. ATNI merupakan lembaga pendidikan kesenian pertama di Jakarta yang berdiri tahun 1955 atas prakarsa tokoh kesenian/ perfilman Usmar Ismail dan Asrul Sani yang mengenyam pendidikan teater di Amerika serikat. Salim Said juga ikut mendirikan Teater Kecil bersama Arifin C Noer.

Sebagai jurnalis, pria yang menyelesaikan program doktor pada jurusan Ilmu Politik di Ohio State University, Amerika Serikat, pernah menjadi Kepala Desk Film & Luar Negeri pada majalah berita mingguan Tempo.

Berarti Salim Said sudah senang menonton film sejak usia muda atau mahasiswa, ini dibuktikan dengan skripsinya pada jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (Fisip UI) yang berjudul “Perfilman di Indonesia: Sebuah Tinjauan Historis-sosiologi” tahun 1976.

Skripsi ini kemudian diterbitkan dalam bentuk buku dengan judul “Profil Dunia Film Indonesia” yang diterbitkan Grafiti Pers tahun 1979. Dalam bagian kata pengantar Salim Said menulis, “Buku ini bukanlah buku sejarah film Indonesia. Bahwa sejarah tak terhindarkan tidak bisa lain. Tapi buku ini sesungguhnya lahir sebagai usaha menjawab sejumlah pertanyaan dari berbagai pihak dan kalangan yang mempersoalkan mutu dan kecenderungan film Indonesia?”

× Image