Salim Said Kritikus Film: Film yang Baik Tidak Menyakitkan Otak
KINGDOMSRIWIJAYA – Sejak Sabtu malam (18/5) laman media sosial juga media massa online ramai berbagi kabar duka tentang perginya seorang Salim Said atau Salim Haji Said. Lengkapnya Prof. Dr. H. Salim Haji Said, PhD lahir di Pare-Pare, Sulawesi Selatan (Sulsel) 10 November 1943 meninggal dunia 18 Mei 2024 di Jakarta di RS Cipto Mangunkusumo, pada pukul 19.33 WIB.
Media massa dan media sosial menyebutnya sebagai tokoh pers, tokoh perfilman nasional, ilmuwan, cendekiawan, pengamat politik dan militer serta pernah menjadi Duta Besar Indonesia untuk Republik Ceko. Pada tulisan ini saya ingin melengkapi sisi lainnya, bahwa Salim Said adalah kritikus film Indonesia yang jempolan atau generasi pertama pada masa era emas budaya populer dan filmnya atau masa Orde Baru.
Garin Nugroho dan Dyna Herlina S dalam buku “Krisis dan Paradoks Film Indonesia” (2015) menulis, “Uniknya, era ini menjadi masa emas budaya populer dan film. Budaya populer (program televisi, komik, novel, iklan, majalah populer hingga radio) bertumbuh dan saling menghidupi dunia film. Sehingga, lahir generasi sineas baru Indonesia, seperti Sjuman Djaya, Teguh Karya, Wim Umboh, Nya Abbas Akup dan Arifin C Noer. Sebuah era yang melahirkan pula bintang-bintang populer baru, seperti WD Mochtar, Soekarnor M Noor, Christine Hakim, Slamet Rahardjo, Roy Martin, Ratno Timoer, Rano Karno hingga Yatie Octavia”.
Garin juga menulis, “Tradisi kritik film sangat kuat pada periode ini, antara lain ditandai oleh munculnya para kritikus film seperti Salim Said hingga JB Kristanto”.
Salim Said dan JB Kristanto yang juga berlatar belakang jurnalis atau wartawan mendokumentasikan karya kritik filmnya dalam buku. Salim Said menghimpun tulisan kritik filmnya dalam buku berjudul “Pantulan Layar Putih” yang terbit tahun 1991 dan JB Kristanto terdokumentasi dalam buku berjudul “Nonton Film Nonton Indonesia” terbit tahun 2004.