Pilkada Muba, Apriyadi dan Kotak Kosong (Protes di Bilik Suara)
Bagi seorang warga negara, dengan memilih atau memberikan suaranya kepada kotak kosong itu adalah protes dari bilik suara.
Dari Pilkada yang telah berlangsung sejak Indonesia menerapkan Pilkada langsung untuk pemilihan kepala daerah pada 2005, istilah kotak kosong dalam Pilkada dikenal setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 100/PPU-XIII/ 2015 yang isinya bahwa daerah yang hanya mempunyai satu pasangan calon kepala daerah dapat mengikuti Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak Desember 2015. MK berpandangan Pilkada wujud dari pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam hal memilih dan dipilih, jadi harus ada jaminan pilkada tetap terlaksana.
Pilkada dengan calon tunggal sudah mulai muncul saat pilkada langsung 2006 di Kabupaten Jepara, dengan putusan tersebut MK membuka jalan untuk beberapa daerah yang hanya memiliki satu pasang calon kepala daerah untuk tetap menyelenggarakan pilkada pada tahun 2015 tanpa harus ditunda sampai periode berikutnya. Dalam putusan itu MK menolak permohonan pemohon yang meminta MK memaknai calon tunggal dapat diterima dengan mekanisme kotak kosong.
Justru MK memaknai calon pasangan tunggal dengan pemilihan melalui kolom “setuju”dan “tidak-setuju” dengan tujuan untuk memberikan hak pilih masyarakat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam demokrasi. Penerapannya, dalam kertas surat suara dipasang foto pasangan calon tunggal Pilkada, pada bagian bawah foto ada dua kotak terpisah bertuliskan “setuju”dan “tidak setuju.
Banyak pakar politk dan hukum yang memaknai Pilkada yang hanya diikuti satu pacan kepala dan dan wakil kepada daerah yang harus menghadapi kotak kosong merefleksikan peran dan fungsi partai politik yang tidak berjalan dengan baik.