Pilkada Muba, Apriyadi dan Kotak Kosong (Protes di Bilik Suara)
Antara elektabiltas dan popularitas menurut Nana Suryana dalam “Iklan Politik, Popularitas, dan Elektabilitas Calon Presiden dan Wakil Presiden 2014” (2013), sesuatu dikatakan popularitasnya tinggi belum tentu eklektabilitas tinggi. Popularitas adalah tingkat keterkenalan di mata publik. Meskipun populer belum tentu layak dipilih. Sebaliknya meskipun punya elektabilitas sehingga layak dipilih tapi karena tidak diketahui publik, maka rakyat tidak memilih.
Untuk meningkatkan elektabilitas maka objek elektabilitas harus memenuhi kriteria keterpilihan dan juga populer. Merujuk pada Teori Konsistensi, Leon Festinger menjelaskan bahwa tingginya elektabilitas seharusnya diikuti oleh opini publik yang positif.
Mega Putri Salim dan Yudi Perbawaningsih dalam penelitiannya “Opini Publik Mengenai Kampanye Politik Dan Elektabilitas Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (Analisis Isi Deskriptif Kolom Komentar Kompas.com Pada Pemilu Legislatif 2014)” menyatakan, elektabilitas merupakan kesediaan masyarakat memilih seseorang atau partai dalam pemilu. Survei elektabilitas biasa disebut sebagai quick count.
“Survei elektabilitas ini sendiri adalah sebuah penelitian yang dilakukan untuk memahami dan melihat apakah calon atau parpol memiliki tingkat dipilih yang tinggi atau tidak”, penjelasan ini disampaikan Bre Ikrajendra dalam “Elektabilitas Calon Legislatif DPRD Dapil I Provinsi Jawa Tengah Pada Pemilu Legislatif 2014 (Dilihat Dari Perspektif Pandangan Pemilih)”.
Kotak Kosong
Benarkah tidak ada bakal calon pada Pilkada Muba mendatang yang akan menjadi penantang Apriyadi? Jika jawaban atau analisanya Apriyadi akan berhadapan dengan kotak kosong, maka itu analisa yang premateur. Atau pertanyaan sebaliknya, jika elektabilitas Apriyadi tinggi atau sangat tinggi, apakah calon lain akan mundur dari gelanggang Pilkada Muba?
Mereka yang mengklaim pengamat politik bahkan masyarakat awam bisa menjawab pertanyaan tersebut. Bagaimana dengan pertanyaan, apakah kotak kosong harus selalu kalah dan tidak bisa menang dalam kontetasi pilkada?