Konstruksi Kemerduan di bulan Ramadhan
Ketiga, dilaksanakan serempak di semua masjid sehabis salat Isya. Ini soal psikologi massa. Memang ada sunah yang menganjurkan untuk salat tarawih berjamaah di masjid, sunah yang kemudian menjadikan “kewajiban” bagi umat muslim untuk tarawih ke masjid. Sebenarnya salat tarawih di rumah juga dibolehkan, kendati memang pahala dan keutamaan salat ke masjid jauh lebih besar.
Adanya keyakinan bahwa tarawih ke masjid adalah keharusan, maka berbondong-bondonglah umat datang ke masjid. Bagi yang tidak ke Masjid akan timbul rasa tertentu, seolah-olah ada yang kurang dengan ibadahnya. Dengan berjamah di masjid, orang akan larut pula dalam untaian Kalimatullah yang sudah diolah oleh sound system disampaikan Imam yang fasih. Konstruksi psikologi massa begitu kuat.
Keempat, menggunakan pakaian khusus. Ini terkesan sepele, tapi secara psikologis ini ikut mempengaruhi kejiwaan seseorang saat beribadah. Islam mensyaratkan dalam beribadah harus menggunakan pakaian yang bersih. Ini wajar, karena ibadah adalah momentum komunikasi transendental dengan Sang Khalik, penampilan harus bersih. Tekanannya adalah bersih, bukan mode tertentu.
Belakangan menjadi mode pula bahwa pria memakai baju koko (yang sebetulnya berasal dari Tiongkok) ataupun sekarang memakai jubah/gamis (identik dengan Arab) serta sarung. Perempuan memakai mukena lengkap. Semua seragam dalam penampilan, apalagi dengan nuansa putih sebagai warna dominan. Psikologis khalayak terbangun oleh ini, sehingga melangkahkah kaki dari rumah hingga ke masjid itu betul-betul dalam sebuah niatan beribadah. Akan berbeda jika ke masjid pakai kaos oblong dengan celana olahraga, tentu khidmat suasana tidak terasa. Inilah konstruksi yang kemudian sengaja diciptakan.
Alhasil, melalui proses konstruksi sedemikian rupa, maka Ramadhan menjadi begitu bermakna. Kemerduan suara-suara di bulan ini begitu mendayu. Cobalah berkeliling dari satu masjid ke masjid lainnya di malam Ramadhan, ikut tarawih dan larut dalam suasananya.
Kita memang sedang berada dalam sebuah konstruksi besar untuk memahami dan memaknai Ramadhan. Lantunan merdu bacaan Imam salat terasa sahut bersahut antar masjid. Disini ada keharuan bahwa penerus generasi pembaca Alquran tidak pernah terputus dan bahkan bertambah banyak. Kebanyakan Imam salat tarawih masih tergolong muda (di bawah 50 tahun atau bahkan 40 tahun). Irama yang begitu syahdu, disokong oleh sound system yang berkelas, maka kemerduan dan kesyahduan Ramadhan itu memang betul-betul ada. Di situ juga jiwa-jiwa sebagai “hamba” harusnya diperkuat, alih-alih kesombongan. ©