Menghapus Jejak Re-Kolonisasi Kraton Kuto Besak: Kembalikan Kuto Besak ke Masyarakat Palembang
Pada 1 Februari 1961 sempat terjadi perubahan ketika TT II/Sriwijaya berubah menjadi Kodam IV/Sriwijaya (12 Februari 1985 menjadi Kodam II/Sriwijaya). Kuto Lamo yang menjadi markas komando dijadikan sebagai markas resimen baru yang dibentuk Rindam IV Sriwijaya. Namun sejalan dengan mulai banyaknya dibangun sekolah catam dan secaba di berbagai rindam Sriwijaya, baik di Kota Palembang, Lahat, maupun Muara Enim. Maka pada tahun 1978, Kuto Lamo diserahkan ke Pemkot Palembang. Yang kemudian dijadikan kantor Depdikbud Kota Palembang. Selanjutnya tahun 1984 pada bagian atas dijadikan museum SMB II.
Pengembalian Kuto Lamo ke Pemerintahan Kota Palembang secara historis berjalan dengan baik. Tidak demikian halnya dengan Kuto Besak. Berbagai fakta menunjukkan bahwa berdasarkan UU No 86 tahun 1958 tentang nasionalisasi hanya perusahaan milik Belanda yang dapat dinasionalisasikan dengan memakai konversi hak barat (eigendom).
Namun untuk kasus Kuto Besak hal ini tidak bisa diterapkan karena Kuto Besak bukanlah perusahaan. Selanjutnya, dapat dikatakan bahwa Kuto Besak bukan juga termasuk tanah aset TNI. Sebab sejak semula Kuto Besak bukan dimaksud untuk dipakai dalam kegiatan operasi TNI lewat perencanaan penganggaran, pengadaan, pembiayaan, ganti rugi dan sebagainya seperti Permen 24/2005. Oleh sebabnya pada akhir-akhir ini, untuk mensiasati hal ini menggunakan istilah hak pakai. Selain itu, jika mengacu pada UUPA/1960, mestinya dengan status okupasi tahun 1950 alasan staat van Oorlog en beleg dengan sendirinya tidak berlaku begitu keluar UU 74/1957 yang mencabut status tersebut.
Jika saya bisa menilai, sejak semula keadaan ini dapat dikatakan, bahwa Kuto Besak mengalami re-kolonialisasi, di tempat sebagai bagian dari kolonial. Dan menurut hemat saya re-kolonisasi atas Kuto Besak ini dilakukan oleh semua elemen, termasuk kita sebagai masyarakat. Karena kita sudah lama membiarkan Kuto Besak dalam wacana bekas bangunan milik kolonial atau aset bekas milik asing (ABMA) yang seolah-olah pantas dianggap sebagai bagian dari okupasi. Padahal secara historis, Kuto Besak bukanlah bangunan Belanda, tetapi dibangun oleh Kesultanan Palembang Darussalam.