Home > Budaya

Menghapus Jejak Re-Kolonisasi Kraton Kuto Besak: Kembalikan Kuto Besak ke Masyarakat Palembang

Kuto Besak yang sebenarnya bukan benteng buatan kolonial, tetapi kraton buatan Kesultanan Palembang Darussalam.

Benteng Kuto Besak yang terletak di tepi Sungai Musi. (FOTO: Dok. D Oskandar)
Benteng Kuto Besak yang terletak di tepi Sungai Musi. (FOTO: Dok. D Oskandar)

Kuto Besak sebagai benteng selanjutnya tata bangunan disesuaikan dengan keperluan bangunan administrasi militer. Awalnya dalem masih difungsikan sebagai kantor Letnan Kolonel A.F. Kirst. Namun harem diruntuhkan dan dirombak menjadi kantor kepala korps. Sedangkan keputren dan kolam diratakan dan dibangun asrama barak militer. Sehingga sejak saat ini, kuto besak hilang ciri kraton dan berubah menjadi benteng militer. Sepanjang masa kolonial Belanda ada beberapa kali renovasi di dalam Kuto Besak, termasuk dalem diubah dan menjadi kantor administrasi militer Keresidenan Palembang.

Pewarisan sebagai benteng militer terus berlanjut ke masa pendudukan Jepang. Kuto Besak dijadikan sebagai kantor kepala pemerintahan militer (gunseikan) Palembang yang dijabat oleh gunseikanbu Residen Militer Matsuki. Sedangkan Kuto Lamo (eks Kantor Residen) dijadikan kantor kepala koordinator pemerintahan sipil (gunseibu) Palembang yang dijabat oleh seorang Syu-Cookan Letnan Jenderal Myako Tosio. Artinya, ketika masa pendudukan Jepang di Palembang, Kuto Besak tetap dijadikan benteng militer seperti masa kolonial Belanda.

Pada masa revolusi fisik, 1945-1949, Kuto Besak tetap terpenjara sebagai benteng ketika Amacab sebagai pasukan sekutu dibawah pimpinan Letnan Kolonel Carmichel menempati Kuto Besak. Setelah Sekutu pergi dari Palembang 9 November 1946, tentara Belanda NICA tetap menjadikan Kuto Besak sebagai benteng sampai pengakuan kedaulatan akhir 1949.

Re-Kolonialisasi Kuto Besak

Pasca pengakuan kedaulatan tahun 1950, disebabkan bangsa Indonesia secara normal baru dapat membangun dengan utuh dalam keadaan staat van oorlog en beleg. Negara membutuhkan lahan yang banyak, baik untuk markas militer, pangkalan senjata hingga perumahan militer. Untuk mendapatkan dan memperoleh lahan dalam memenuhi kebutuhan tersebut, maka Tentara Nasional Indonesia (TNI) melakukan okupasi terhadap aset bekas milik asing (ABMA).

Okupasi oleh TNI tersebut dalam prakteknya, tidak memiliki landasan hukum yang jelas. Artinya, tidak ada yang menjadi dasar hak penguasaan, perolehan, dan pengelolaan atas tanah bangunan. Terutama tanah-tanah bekas hak-hak barat, termasuk tanah peninggalan eks KNIL Belanda. Seperti tanah bekas peningggalan tentara belanda, markas-markas kompi NICA. Termasuk benteng-benteng pertahanan tentara kolonial Belanda pada saat menjajah di Indonesia.

Kasus serupa terjadi dengan Kuto Besak. Yang diokupasi oleh TNI untuk dijadikan markas Tentara Teritorium (TT) II/Sriwijaya yang dibentuk berdasarkan SK KASAD No. 83/KSAD/PATI/1950 tanggal 29 Juli 1950. Panglima TT II/Sriwijaya waktu itu, Kolonel Bambang Utoyo berkedudukan di Kuto Lamo. Sedangkan pasukan TT II/Sriwijaya menempati Kuto Besak.

× Image