Home > Budaya

Menghapus Jejak Re-Kolonisasi Kraton Kuto Besak: Kembalikan Kuto Besak ke Masyarakat Palembang

Kuto Besak yang sebenarnya bukan benteng buatan kolonial, tetapi kraton buatan Kesultanan Palembang Darussalam.

Gerbang Benteng Kuto Besak. (FOTO: Makalah Meita Istianda)
Gerbang Benteng Kuto Besak. (FOTO: Makalah Meita Istianda)

Lalu bagaimana di Palembang? setelah mengasingkan Sultan Mahmud Badaruddin I ke Ternate. Kuasa Kesultanan Palembang Darussalam masih kuat, termasuk ketika mengangkat Sultan Ahmad Najamuddin IV Prabu Anom yang didudukan di Kuto Besak dan menjadikan Sultan Ahmad Najamuddin II sebagai Susuhunan Husin Diauddin. Oleh sebabnya, Pemerintah Kolonial Belanda untuk mengendalikan dan mengontrolnya, berencana membangun benteng di bagian seberang ulu Kuto Besak. Benteng ini dinamakan Benteng Frederik.

Benteng Frederik yang akan dibuat di Kampung Kapiten 7 Ulu tersebut untuk mengawasi pemerintahan Sultan Ahmad Najamuddin IV yang bertahta di Kuto Besak. Hal ini hampir serupa ketika Belanda membangun Benteng Vredenburg untuk mengawasi Kraton Ngayogyakarta. Namun menjelang Benteng Frederik mulai dibangun, van Sevenhoven selaku komisaris Palembang merekomendasikan ke Gubernur Jenderal van der Cappelen agar Sultan Ahmad Najamuddin IV Prabu Anom diasingkan ke Batavia lalu dipindahkan ke Menado. Termasuk Susuhanan Husin Diahuddin yang diasingkan ke Banda Naire. Keduanya yang semula dimaksudkan Belanda sebagai pemerintahan boneka dalam mengontrol para bangsawan, justru mengadakan amuk pada Belanda di Palembang. Selanjutnya, Van Sevenhoven juga merekomendasikan agar kesultanan Palembang dihapuskan pada 25 Oktober 1825.

Bersamaan dengan itu, kekosongan Kuto Besak akibat diasingkannya Sultan Ahmad Najamuddin IV Prabu Anom. Membuat Pemerintah Belanda mengurungkan niat membangun Benteng Frederik dan menjadikan Kuto Besak sebagai ganti Benteng Frederik. Sehingga pada awal tahun 1826, sistem pemerintahan di Keresidenan Palembang berubah. Pemerintah sipil disokong militer. Artinya, pengganti J.C Reijnst ditunjuk H.S. van Son sebagai residen Palembang pemegang pemerintahan sipil dibantu oleh Perdana Menteri Pangeran Kramadjaja untuk urusan sipil pribumi.

Perkuatan pemerintahan sipil selanjutnya ditunjuk Letnan Kolonel A.F. Kirst sebagai kepala militer Keresidenan Palembang. Kekuatan militer yang ditugaskan di Palembang pada tahun 1826 sebanyak 46 personil militer yang ditempatkan di Kuto Besak. Dengan demikian, sejak saat itu, Kuto Besak dari bangunan kraton berubah menjadi benteng yang diduduki pemerintahan militer Belanda. Pemerintahan militer Keresidenan Palembang bagian dari Departemen van Oorlog Pusat. Dibawahnya ada pemegang operasi yang dikepalai oleh kapiten atau letnan atau intendant dengan korps artillerie, korps genie, korps militaire administratie, dan korps militaire geneeskundige dients. Tujuan utamanya adalah mengamankan daerah-daerah uluan yang masih bergolak, seperti di Pasemah dan Komering.

× Image