Pers Mahasiswa Bukan Anak Tiri Pers Nasional
Nasib yang sama juga menimpa pers alternatif, STT (Surat Tanda Terbit) akan dicabut. Pada masa itu pers mahasiswa harus mendapat STT dari Menteri Penerangan. Meskipun demikian, ada upaya pers alternatif khususnya pers mahasiswa menyiasati kontrol kekuasaan agar bisa mengelola kemerdekaan berpendapat.
Pada zaman Orde Baru, media atau pers alternatif menurut Sandy Allifiansyah, menjadi motor penggerak sekaligus medium yang ampuh dalam menggalang kekuatan melawan hegemoni otoritas yang mengekang. Salah satu varian media alternatif di era tersebut adalah Pers Mahasiswa.
Menurut Didik Supriyanto yang pernah menjadi Pemimpin Redaksi Pers Mahasiswa Majalah Balairung UGM dalam bukunya “Perlawanan Pers Mahasiswa Protes Sepanjang NKK/BKK” (1998), Pers Mahasiswa secara sadar atau tidak ikut membakar gerakan mahasiswa sepanjang tahun 1977-1978. Akibatnya, pada Januari 1978 Pers Mahasiswa di beberapa kampus dilarang terbit, lalu Dewan Mahasiswa (Dema) dibekukan oleh Kopkamtib.
Jika menilik pada sejarah Pers Mahasiswa di Indonesia, Pers Mahasiswa sebagai pers alternatif hadir dengan sajian pemberitaan dan tulisan yang lantang yang mengkritisi kebijakan pemerintahan dan kaya ide atau gagasan intelektual dalam memperjuangkan kehidupan masyarakat di luar dan di dalam kampus.
Akibatnya banyak Pers Mahasiswa mengalami pemberedelan oleh pimpinan perguruan tinggi dan aktivis Pers Mahasiswa terkena sanksi. Kasus kekerasan dan kriminalisasi terhadap Pers Mahasiswa di Indonesia sudah sangat banyak, maka tak salah jika kemudian Dewan Pers memperjuangkan perlindungan bagi Pers Mahasiswa karena Pers Mahasiswa bukan anak tiri pers nasional.
Selamat Hari Pers Nasional 2024. Pers mahasiswa hadir untuk "Mengawal Transisi Kepemimpinan Nasional dan Menjaga Keutuhan Bangsa". (maspril aries)