Home > Lingkungan

Gubernur, Bupati dan Wali Kota Ayo Larang Caleg Buang APK di TPA

APK tidak hanya dapat mengganggu keindahan tetapi juga dapat menjadi sumber sampah dan mempengaruhi lingkungan hidup.

APK Pemilu 2024 terpajang semarak pada JPO di Jakarta. (FOTO: Antara/Rivan Awal Lingga)
APK Pemilu 2024 terpajang semarak pada JPO di Jakarta. (FOTO: Antara/Rivan Awal Lingga)

“Ruang kota dan desa yang melaksanakan gawe demokrasi terasa sangat memusingkan kepala warganya. Areal perkotaan ataupun pedesaan dianggap sebagai etalase privat yang halal digunakan kapan pun mereka suka”, tulis dosen hukum lingkungan tersebut.

Menurut Suparto, kondisi yang terpapar menyiratkan fakta bahwa demokrasi belum dibarengi kepekaan ekologis. Kota dan desa yang indah menjadi sangat timpang dengan ulah yang tidak memiliki sensitivitas ekologis maupun planologis. Lorong-lorong publik dijejali dengan tanda gambar yang terkesan angkuh dan egois dengan alasan menyosialisasi dirinya. Mungkin mereka pikir ini adalah pesta demokrasi dan yang dinamakan pesta pasti sangat meriah dengan permafhuman pelanggaran dapat ditoleransi.

Suparto Wijoyo menyatakan, bukankah kita bisa membuat pesta demokrasi yang lebih beradab dengan penataan kota dan desa yang etik dan estetis secara ekologis.

APK yang akan dilepas pada 10 Februari 2024 adalah sampah visual dari bahan dan jenis apapuan. Dipastikan yang terbanyak dari bahan plastik dan sejenisnya.

Apa itu sampah visual? Azka Abdi Amrurobbi dalam penelitiannya, “Problematika Sampah Visual Media Luar Ruang: Tinjauan Regulasi Kampanye Pemilu dan Pilkada” (2021) menyebutkan bahwa kondisi pemasangan alat peraga kampanye yang tidak teratur, merupakan bagian dari sampah visual.

Istilah sampah visual pertama kali dipopulerkan oleh Jean Baudrillard, seorang pemikir Perancis yang banyak menaruh perhatian terhadap perilaku konsumsi masyarakat di era kontemporer. Menurutnya, sampah visual merupakan “kebiasaan” para kapitalis yang ajeg menawarkan beragam produknya melalui berbagai spanduk dan banner di pinggiran jalan, juga penayangan iklan-iklan di setiap stasiun televisi, yang kesemuanya justru menimbulkan “kelelahan” berikut “ke-tertindas-an” psikologis bagi mereka yang melihatnya (menontonnya).

Sementara itu S Tinarbuko dalam ”Semiotika Komunikasi Visual” (2008) menyebutkan bahwa sampah visual merupakan sebuah aktivitas pemasangan iklan luar ruangan yang memiliki jenis komersial, sosial, ataupun iklan politik yang penempatannya tidak sesuai dengan aturan yang ada.

× Image