Home > Literasi

100 Tahun AA Navis: Lima Tahun Mengirim Cerpen Selalu Ditolak

Navis dengan tajam menyingkap dinamika kehidupan desa dan menyuarakan isu-isu sosial yang relevan hingga kini.

Rangkaian acara 100 Tahun AA Navis. (FOTO: Badan Bahasa)
Rangkaian acara 100 Tahun AA Navis. (FOTO: Badan Bahasa)

Kedua, di sekolah saya, INS Kayutanam selama 11 tahun, kami tidak diberi pelajaran bagaimana mengungkapkan pikiran yang tepat dengan bahasa yang baik. Sebab kami lebih banyak diberi pelajaran kreatif melalui tangan, bukan melalui mulut atau melalui tulisan.

Ketiga, saya tidak mempunyai pengalaman hidup yang penuh avontur, yang aneh-aneh sehingga saya tidak mempunyai bahan yang luar biasa untuk diberitakan kembali dalam ciptaan-ciptaan saya.

Sebelum menjadi seorang penulis, Navis adalah seorang anak yang rajin membaca. Sejak di sekolah rendah Navis sudah gemar membaca. Dalam perjalanan pulang menggunakan kereta api dari Kayutanam ke Padang Panjang selalu disempatkannya membaca. “Membaca apa saja yang dapat saya baca. Koran, majalah atau berbagai jenis buku. Bacaan yang saya peroleh karena dipinjam, dibeli atau disewa”, tulisnya.

Saat memulai kepenulisannya, Navis menulis puisi. Menurutnya, menulis puisi itu tidak sulit, karena apa saja bisa ditulis dalam bentuk puisi. Apa lagi ketika mata tak mau tidur tengah malam, akan banyak ide dan khayalan yang mengambang. Itu semua dapat ditulis dalam bentuk puisi. “Namun lama-lama saya menyadari bahwa seorang penyair harus mempunyai gaya sendiri, sebagai identitas pribadinya. Maka saya kira saya tidak bisa menjadi penyair. Karena setiap puisi yang saya tulis, senantiasa terpengaruh oleh gaya orang lain”.

AA Navis dalam berkarya memiliki sikap dan komitmen, tidak ingin menjadi epigon orang lain. Baginya epigonisme bukanlah hal yang terpuji dalam dunia kesenimanan. Berbekal kesadaran itu, Navis mulai menulis cerita pendek (cerpen). “Tapi setiap cerpen yang saya kirimkan ke majalah Mimbar Indonesia selalu dikembalikan HB Jassin. Hal itu tidak menyebabkan saya patah semangat”, tulisnya.

Berbekal semangat itu, pada awal masa kepenulisannya, Navis selalu mengirimkan karya cerpennya ke majalah yang berstandar sastra seperti Mimbar Indonesia yang digawangi Paus Sastra Indonesia HB Jassin. “Kalau mau jadi sastrawan, tentulah karya-karya itu harus saya kirimkan ke majalah yang berstandar sastra sebagai pengukur kemampuan diri”, ujarnya.

× Image