Home > Literasi

100 Tahun AA Navis: Lima Tahun Mengirim Cerpen Selalu Ditolak

Navis dengan tajam menyingkap dinamika kehidupan desa dan menyuarakan isu-isu sosial yang relevan hingga kini.

Gelar wicara peringatan 100 Tahun AA Navis di kantor Unesco, Paris. (FOTO: Badan Bahasa)
Gelar wicara peringatan 100 Tahun AA Navis di kantor Unesco, Paris. (FOTO: Badan Bahasa)

Navis menceritakan kisah perjalanannya di dunia sastra Indonesia, selama lima tahun, ia berulang-ulang mengirimkan cerpen-cerpen, dan selama lima tahun ditolak terus. “Saya tidak patah semangat karenanya. Tapi saya maklum, bahwa nilai atau mutu karya saya belum mencapai standar kesusastraan”, tulisnya.

Dari perjuangannya yang gigih, akhirnya cerpen Navis berjudul “Pada Pembotakan Terakhir” dimuat dalam majalah Kisah. Cerpen ini berkisah tentang seorang ibu, Ibu Upik yang setiap pertambahan tahun usia anaknya, selalu membotaki kepala anaknya sebagai hadiah. Pembotakan terakhir pada saat si anak berusia tujuh tahun.

Kemudian cerpen “Robohnya Surau Kami” lahir setelah Navis ngobrol dengan Angku Syafei lahir cerpen tersebut yang bahannya dari obrolan tersebut kemudian diolah di sana-sini. Lalu dua cerpen tersebut dikirim ke Majalah Kisah dan dua cerpen tersebut dimuat. Tahun 1955 Majalah Kisah menobatkan cerpen "Rogohnya Surau Kami” sebagai cerpen terbaik tahun itu. Pada tahun itu pula buku kumpulan cerpen pertama AA Navis diterbitkan oleh NV Nusantara Bukittinggi. Di kota yang sejuk ini Navis mendirikan sebuah taman bacaan.

Minangkabau, Cerita pendek Robohnya Surau Kami merupakan karya sastra AA Navis yang monumental. Cerpen ini mengangkat kritik sosial terhadap kehidupan religius masyarakat yang cenderung pasif dan tidak peka terhadap perubahan zaman. Selain cerpen dalam perjalanan karirsnya sebagai sastrawan AA Navis juga menulis sejumlah novel, esai, dan karya lainnya yang terus menjadi rujukan penting dalam sastra Indonesia. Diantaranya, Bianglala (1957), Kemarau (1967), Bila Malam Bertambah Malam (1971), Datang dan Pergi (1993).

× Image