Seru, Bakal Ada Banyak Politik Dinasti di Pilkada 2024
Menurutnya, sikap pro dan kontra terhadap kemunculan dinasti politik tersebut sangatlah erat kaitannya dengan budaya politik yang berkembang di masyarakat. Budaya politik sendiri berkaitan dengan preferensi kekuasan yang dibangun baik dari segi penerimaan publik maupun pembangunan rezim.
Dalam kajiannya, Wasisto menyimpulkan, kehadiran dinasti politik tidak terlepas dari proses demokrasi yang mahal di mana masyarakat memilih pasif dalam proses demokrasi dan lebih cenderung menghendaki status quo pemerintahan sekarang. Sementara itu, kepala daerah memiliki tren untuk mewariskan kekuasaannya kepada kerabat demi menjaga kekuasaan dan menutupi aib politik. Semua itu mengkondisikan terbentuknya dinasti politik di ranah lokal.
Semakin banyaknya praktek politik dinasti atau politik kekerabatan pada Pilkada 2024 itu menunjukkan bahwa akar feodalisme dan tradisi monarki belum sepenuhnya berubah, walau bangsa ini sudah berada pada era reformasi. Mengutip Nur Hidayati dalam “Dinasti Politik dan Demokrasi Indonesia” (2014), jika politik dinasti masih ada pada pilkada, maka bukan meritokrasi yang melandasi pilkada, melainkan nepotisme dan kolusi.
“Jika akar feodalisme masih menancap kuat di negeri ini, rasanya mengikis dinasti politik tak bisa berjalan dengan mudah. Apalagi sistem demokrasi kita yang belum mapan. Pada akhirnya kita sulit berharap ada perubahan besar dari proses politik, sepanjang sistim feodalisme masih mengakar kuat seperti sekarang ini”, tulis Nur Hidayati.
Jika sistem dinasti politik terus berjalan tanpa pengawasan melalui regulasi peraturan, maka penyalahgunaan kewenangan kemungkinan besar dapat terjadi. Sekaligus merusak demokrasi.
Pakar politik R Siti Zuhro dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sekarang BRIN, lebih dari 10 tahun lalu sudah menyatakan, fenomena politik dinasti atau dinasti politik atau praktik politik kekerabatan yang marak terjadi di sejumlah daerah dinilai merusak demokrasi. Pasalnya, politik dinasti bisa menutup akses dan kesempatan bagi warga negara yang lain untuk memperoleh hak politik, terutama hak untuk dipilih.
Ya, sejak 10 tahun lalu Siti Zuhro sudah menyampaikan, politik dinasti yang marak terjadi di sejumlah daerah sudah mengkhawatirkan. Jika dibiarkan, tatanan demokrasi akan rusak. ”Politik dinasti ini merusak demokrasi”. 10 Tahun kemudian pakar otonomi daerah Djohermansyah Djohan kembali mengingatkan tentang hal yang sama.
Pilkada 2024 masih empat bulan lagi, pada 27 November 2024, akan pilih politik dinastik atau katakan, “Tidak!” pada politik dinasti? (maspril aries)