Home > Politik

Seru, Bakal Ada Banyak Politik Dinasti di Pilkada 2024

Kepala daerah memiliki tren untuk mewariskan kekuasaannya kepada kerabat demi menjaga kekuasaan dan menutupi aib politik.
Mahasiswa memasang spanduk penolakan dinasti politik. Pengamat sebut harus ada kekuatan untuk melawan politik dinasti di daerah. (FOTO: Republika/Putra M. Akbar)
Mahasiswa memasang spanduk penolakan dinasti politik. Pengamat sebut harus ada kekuatan untuk melawan politik dinasti di daerah. (FOTO: Republika/Putra M. Akbar)

KINGDOMSRIWIJAYA – “Makin lama politik dinasti makin menjadi-jadi. Tidak hanya di tingkat lokal, tapi menjalar ke tingkat nasional. Kita sudah lihat praktik itu di Pilpres 2024”.

Kutipan kalimat di atas disampaikan pakar otonomi daerah Prof Djohermansyah Djohan dalam webinar nasional Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) Pusat tentang “Pilkada 2024 dan Masa Depan Demokrasi Lokal”, Jumat (5/7/2024) malam.

Djohermansyah Djohan menjelaskan, berdasarkan data yang dimilikinya, dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2014, ada sekitar 60 kepala daerah dan wakil atau 11 persen dari jumlah daerah otonom menerapkan politik dinasti. Angka itu mengalami peningkatan menjadi 117 kasus politik dinasti atau 21,5 persen dalam Pilkada 2018.

Artinya, kasus politik dinasti dalam pilkada terakhir sudah mencapai satu per tiga dari keseluruhan daerah otonom. “Sesudah bapaknya, nanti istrinya atau anaknya, atau menantunya. Ini yang kita musuhi ketika kita berada di Orde Baru dulu”, katanya.

Menurut Djohermansyah Djohan yang pernah menjabat Diirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), pernah ada upaya untuk mengantisipasi politik dinasti di pilkada. Pada 2015, sedianya sempat dimasukkan pasal soal larangan politik dinasti pada UU Pilkada tahun 2015.

Pasal 7 huruf r dalam beleid itu mengatur bahwa seseorang yang mempunyai hubungan darah atau konflik kepentingan dengan pejawat alias incumbent tidak diperbolehkan maju menjadi pemimpin daerah. Namun, aturan itu kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

“Harus ada perbaikan regulasi untuk mencegah terjadinya politik dinasti. Pasalnya, apabila tidak ada perbaikan regulasi, persoalan itu akan terus berulang. Kalau ada kerabat maju, saran saya si pejawat cuti lah. Dia tidak bisa kita larang karena melanggar hak asasi, tapi cuti lah. Cuti saja, di luar tanggungan negara, selama kampanye”, katanya.

× Image