Home > Politik

Seru, Bakal Ada Banyak Politik Dinasti di Pilkada 2024

Kepala daerah memiliki tren untuk mewariskan kekuasaannya kepada kerabat demi menjaga kekuasaan dan menutupi aib politik.

Aksi massa tolak Politik DInasti. (FOTO: Republika)
Aksi massa tolak Politik DInasti. (FOTO: Republika)

Agus Sutisna dalam “Gejala Proliferasi Dinasti Politik di Banten Era Kepemimpinan Gubernur Ratu Atut Chosiyah” (2017) menyatakan bahwa fenomena kehadiran dinasti politik – terutama di aras lokal – dalam lanskap paradoks konsolidasi dan perkembangan demokrasi di Indonesia, merujuk pada data yang dirilis oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) terbukti cukup massif (meluas). Dalam kenyataannya fenomena dinasti politik ini juga memperlihatkan persebaran dan perluasan (proliferasi) ke arena kekuasaan dan jabatan-jabatan politik di lembaga legislatif, pusat maupun daerah.

Dalam konteks pilkada menurut kajian A Hamid, “Observation of Democratic Decentralization in Indonesia during 2009–2014: Political Dynasty in Banten Province and Populism in Jakarta Province” (2015), bahwa era desentralisasi yang untuk pertama kalinya dilandasi penerapannya oleh UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah melahirkan dua tipologi kepemimpinan dan tata kelola kekuasaan lokal yang secara diametral sangat paradoks, yakni dinasti dan populisme.

Politik dinasti atau dinasti politik di Indonesia dapat dikatakan sudah tumbuh sejak lama, masa Orde Baru, kemudian pada era reformasi politik dinasti beranak-pinak setelah lahirnya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang notabene legislasi yang lahir pada masa reformasi.

Ketika reformasi yang mengusung demokrasi membahana di seantoro negeri, mengapa justru politik dinasti atau dinasti politik tumbuh dan berkembang seperti bunga di musim semi? Wasisto Raharjo Djati dari Fisipol Universitas Gajah Mada (UGM) dalam kajiannya, “Revivalisme Kekuatan Familisme dalam Demokrasi: Dinasti Politik di Aras Lokal” (2012) memberikan jawabannya.

Menurutnya, kemunculan dinasti politik dapat terindikasi dalam beberapa penjelasan. Pertama, kegagalan fungsi partai politik lokal untuk melakukan regenerasi politik. Kedua, biaya demokrasi yang tinggi menghalangi masyarakat untuk berpartisipasi dalam suksesi kekuasaan. Ketiga, perimbangan kekuasaan antar elit lokal tidak tercipta sehingga menghasilkan sentralisasi politik di kalangan elit tertentu yang berkembang menjadi dinasti.

Pro dan Kontra

Selain semakin marak politik dinasti, di tengah masyarakat juga berkembang sikap pro dan kontra terhadap politik dinasti atau dinasti politik. Mengutip Wasisto Raharjo Djati, di satu sisi, ada pihak menginginkan pembatasan dinasti politik dengan cara membatasi sanak saudara kepala daerah untuk maju dalam Pemilukada, sementara yang lain mengusulkan dinasti politik tak perlu dilarang, hanya saja sistem kaderisasi partai politik di daerah perlu dibenahi.

× Image