Pilihan Absurd, Pilih Mana: Pilkada Kotak Kosong atau Calon Tunggal?
Ketiga, keberadaan calon tunggal tidak terlepas dari beratnya persyaratan untuk menjadi kandidat, baik melalui jalur partai politik maupun jalur perseorangan (independen). Ujung-ujungnya bagi yang ingin maju menjadi calon kepala daerah, mereka harus mengeluarkan biaya yang besar. Dengan kata lain, pilkada hanya disediakan bagi mereka yang punya dukungan dana besar. Hal inilah antara lain yang menyebabkan orang-orang yang memiliki kredibilitas dan kapasitas sebagai calon pemimpin kepala daerah tidak memiliki kesempatan untuk ikut dalam kontestasi tersebut.
Mereka yang menginginkan adanya kontestasi pilkada yang hanya diikuti calon tunggal atau kotak kosong dalam kaitannya dengan politik dan demokrasi, mengutip Gabriel Albertus Nong Ovi dan kawan-kawan dalam “Dinamika Politik Era Jokowi dan Lunturnya Nilai Demokrasi Ditinjau Berdasarkan Etika Spinoza” (2024), adalah cermin adanya nafsu (laetitia) dapat menimbulkan suatu keinginan untuk memuluskan kekuasaan. Dalam ihwal politik dan demokrasi, seseorang yang karena nafsunya dapat menjadi depolitis dan demokrasi akan mengalami regresi.
Pilkada yang mengharuskan calon tungal bersaing dengan kotak kosong tentu bukanlah prosesi terbaik yang diinginkan oleh masyarakat yang demokratis. Fenomena pemilihan tanpa kontestasi (uncontested election) dapat disebut sebagai faktor egoisme berkuasa dari kandidat yang memborong seluruh partai politik selain faktor institusional atau perundang-undangan, dan faktor kegagalan partai politik di daerah mengusung multi kandidat.
Sejatinya dalam demokrasi yang tidak terdegradasi tidak sepakat dengan adanya pilkada kandidat atau calon tunggal melawan kotak kosong, karena telah mencederai demokrasi. Dalam kontestasi pemilihan umum atau pilkada pada hakikatnya masyarakat memilih orang bukan kolom atau kotak kosong, dengan menjebak pemilih pada pilihan calon tunggal atau kotak kosong, sama halnya dengan mengingkari semangat dari demokrasi dalam sebuah kontestasi politik.