Home > Politik

Pilihan Absurd, Pilih Mana: Pilkada Kotak Kosong atau Calon Tunggal?

Mereka yang terus membangun opini pemilihan gubernur (Pilgub) Sumsel akan melawan kotak kosong adalah yang berpikiran picik.

Menggunakan hak pilih pada kontestasi pemilihan umum/ pilkada (FOTO: Maspril Aries)
Menggunakan hak pilih pada kontestasi pemilihan umum/ pilkada (FOTO: Maspril Aries)

Jika terjadi pada pilkada ada paslon, atau calon petahana maju pada pilkada lawannya kotak kosong, maka ada sejumlah pertanyaan yang bisa disampaikan. Apakah ini merupakan kegagalan pendidikan politik? Atau lemahnya pengkaderan dalam partai politik? Atau faktor lainnya?

Menurut Muhammad Anwar Tanjung & Retno Saraswati dalam “Calon Tunggal Pilkada Kurangi Kualitas Demokrasi Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XIII/2015” (2019), secara filosofis pemilihan kepala daerah (pilkada) merupakan pelaksanaan kedaulatan rakyat untuk dipilih dan memilih dalam suatu proses pemilihan yang berlangsung secara demokratis”.

Faktanya sejak pilkada langsung tahun 2005, terjadi peningkatan jumlah daerah yang melaksanakan pemilihan kepala daerah dengan calon tunggal alias melawan kotak kosong.

Regresi Demokrasi

Menurut Leo Agustino dalam “Desentralisasi Era Reformasi: Refleksi 25 tahun Demokrasi di Indonesia” (2023), proses pendemokrasian yang dirancang sejak tahun 1998 dengan memberikan pendelegasian kekuasaan pada daerah justru menciptakan regresi demokrasi di aras lokal. Hal ini ditandai oleh beberapa faktor seperti menjamurnya dinasti politik yang berimplikasi pada hadirnya calon-calon tunggal (dukungan dinasti) dan pemerintah bayangan (shadow state) di daerah, melemahnya masyarakat sipil yang disebabkan meluasnya polarisasi.

Menurut Lili Romli Peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI (sekarang BRIN) dalam “Calon Tunggal dan Defisit Demokrasi” (2018), ada tiga hal yang bisa diamati dari fenomena calon tunggal pada pilkada yang jumlahnya cenderung meningkat itu. Pertama, keberadaan calon tunggal sebagai akibat dua pihak yang saling berkepentingan, yaitu petahana dan partai politik. Petahana berkepentingan untuk menjaga status quo, tetap berkuasa, dengan cara menjegal saingan lewat 'borong partai'. Sementara itu, partai-partai berkepentingan untuk menang dan/atau mendompleng petahana.

Kedua, partai gagal melakukan kaderisasi di satu pihak, dan di lain pihak telah terjadi krisis kepemimpinan di daerah. Alih-alih sebagai bagian dari institusi sosial untuk menyiapkan calon-calon pemimpin, partai terkesan hanya digunakan untuk kepentingan hal-hal yang sifatnya pragmatis oleh para elitenya. Partai politik mestinya malu dengan pilkada yang hanya menampilkan calon tunggal. Akan tetapi, rupanya rasa malu itu dengan mudah bisa disingkirkan karena ada kepentingan pragmatis tadi.

× Image