Pilihan Absurd, Pilih Mana: Pilkada Kotak Kosong atau Calon Tunggal?
KINGDOMSRIWIJAYA – Dalam berita yang ditulis media massa, baik media cetak dan media online (daring) tersiar kabar, pemilihan kepala daerah (pilkada) yang akan memilih Gubernur-Wakil Gubernur Sumatera Selatan (Sumsel) pada pilkada 2024 akan terjadi atau hanya diikuti satu pasangan calon (paslon) atau calon tunggal yang akan melawan kotak kosong.
Ada media massa tengah membangun framing atau opini publik agar pilkada mendatang hanya calon tunggal melawan kotak kosong seraya mengikuti genderang “tarian” dari pendukung paslon tunggal atau kotak kosong. Tetapi ada juga media massa yang mengutip pengamat politik atau politikus partai bahwa pilkada Sumsel 2024 tidak hanya (tidak boleh) diikuti satu paslon alias tidak ada kotak kosong.
Pengamat politik Ade Indra Chaniago yang tengah menyelesaikan pendidikan strata tiga (S3) atau doktor pada Program Studi Ilmu Politik Universitas Indonesia (UI) menyampaikan kepada wartawan, bahwa mereka yang terus membangun opini pemilihan gubernur (Pilgub) Sumsel akan melawan kotak kosong adalah yang berpikiran picik.
Ade Indra berpendapat, yang yang berpikir dan ingin mengarahkan Pilgub Sumsel 2024 hanya diikuti satu pasangan calon (paslon) adalah orang tidak paham dan tidak mengerti esensi demokrasi. “Ketika lahir pemikiran pilkada ke arah kotak kosong, maka orang tersebut tidak paham substansi demokrasi. Dia ingin mengamputasi demokrasi untuk kepentingan diri sendiri, kelompok sendiri, bukan untuk kepentingan rakyat Sumsel”, katanya,
Mereka yang tidak setuju dengan pendapat Ade Indra tentu akan berargumentasi bahwa dalam kontetasi politik seperti pilkada sampai ke pemilihan kepala desa sudah ada di Indonesia sejak lama. Lalu membubuhinya dengan berbagai argumentasi hukum.
Tapi artikel ini bukan untuk membahas wacana atau perdebatan antara pendukung pilkada calon tunggal atau kotak kosong dengan mereka yang menabukan pilkada kotak kosong atau calon tunggal.
Untuk mengamini pendapat Ade Indra maka harus dikatakan dengan lantang bahwa pilkada kotak kosong atau calon tunggal adalah bukti sebuah kegagalan dalam proses berdemokrasi sekaligus sebagai wujud tidak sehatnya pendewasaan berdemokrasi di masyarakat pasca reformasi 1998.