Literasi dan Budaya Baca Berdetak di atas Kereta LRT
Pada bagian berikutnya ia menulis, “Semua orang punya pengetahuan, andai saja mereka membawa pengetahuan dan cara membaca mereka di tempat umum, mungkin kota ini akan di penuhi oleh orang-orang yang katanya kutu buku, namun kaya akan teori, adab, seni, imajinasi dan ilmu pengetahuan. Jika kalian suka membaca buku kalian bisa bergabung dengan klub buku yang ada di palembang, seperti @plbbookparty , @kelanabookclub , @bukubuku.linda , @giatbaca_id dan masih banyak lagi. Reading big Impact #normalisasimembacaditempatumum”.
Budaya Baca
Kegiatan yang dilakukan komunitas Palembang Book Day dan Kelana Book Club serta komunitas lainnya, selain di LRT mereka juga melakukan membaca buku, diskusi atau bincang buku di tempat umum atau di taman yang ada dalam kota Palembang. Mereka, selain tengah menyebarkan “virus membaca” lebih dari itu membangun budaya baca di lingkungan mereka, juga di tengah masyarakat.
Jika membahas atau berdiskusi tentang budaya baca atau minat baca, maka kita harus merujuk ke Jepang. Di negara matahari terbit ini, ketika berada di atas transportasi umum, bus atau kereta kita akan melihat di dalamnya, hanya ada dua pemandangan yang terlihat. Pertama, orang Jepang yang tidur. Kedua orang Jepang yang tengah membaca buku.
Ada satu kebiasaan pada masyarakat Jepang, ketika merencanakan suatu perjalanan, mereka sejak di rumah sudah mempersiapkan bahan bacaan, bisa berupa majalah atau buku. Mungkin aksi yang dibuat aktivis literasi dari Palembang Book Day dan Kelana Book Club, terinspirasi oleh budaya baca di Jepang?
Dalam penelitian Ahmad Abdul Karim dan Dian Hartati berjudul, “Peristiwa Literasi dalam Novel Di Tanah Lada Karya Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie dan Merakit Kapal Karya Shion Miura” (2022) menyebutkan, interaksi literasi di Jepang memperlihatkan kegemilangan. Adanya, kebiasaan berinteraksi dengan buku membuat masyarakat Jepang cakap dalam hal pengetahuan maupun memilah informasi. Kebiasaan tersebut – dapat juga disebut budaya baca – sudah ada sejak zaman Meiji.
Menurut NA Girsang dalam “Minat Membaca dalam Kehidupan Masyarakat Jepang” (2016), pada zaman itu pemerintah Jepang mulai memasukkan buku-buku dari luar Jepang dan menganjurkan masyarakatnya untuk membaca. Kebiasaan tersebut melekat hingga saat ini.