Agus Fatoni Memberi Brand (Merek Dagang) Kopi Sumsel
Selama ini kopi yang dihasilkan atau berasal dari Sumsel dikenal dengan nama yang beragam. Menurut Ketua Specialty Cofffee Association Of Indonesia (SCAI), Syafrudin, dari Sumsel dikenal ada kopi lokal seperti kopi Arabika Semendo, kopi Arabika Pagaralam, kopi Benawa, kopi Lanang, kopi Jarai, kopi Rimba Candi, dan kopi robusta Semendo. Aneka nama tersebut menurutnya, Sumsel sebagai penghasil kopi paling besar di Indonesia kurang dikenal dari sisi identitas karena pengelolaan yang belum optimal.
Dalam sebuah diskusi di Palembang tahun 2020, Syafrudin memberi saran agar para stakeholder perkopian di Sumsel perlu duduk bersama untuk mengurai semua permasalahan. “Sayang sekali kalau kualitas yang sudah baik tidak optimal hanya karena ketidakkompakan antara yang di hulu dan hilir”, ujarnya.
Menurutnya, keterkenalan kopi Sumsel di level internasional masih lemah dibandingkan kopi lain dari Indonesia seperti Kerinci, Kintamani, Toraja dan Gayo, bahkan di level nasional memang belum cukup kuat.
Ketua SCAI itu menyatakan, “Dari 13 kopi yang saya cicip, 12 kopi pantas mendapat cupping skor menurut kaidah universal, luar biasa”. Ia juga mengungkapkan, “Harus diakui bahwa kopi Sumsel lebih banyak ke Lampung dan akibatnya identitas Sumsel ikut hilang, mungkin masing-masing gubernur juga perlu duduk bersama membahas persoalan ini,”, katanya.
Gayung bersambut, apa yang disampaikan Ketua SCAI Syafrudin dijawab Pj Gubernur Agus Fatoni. “Seluruh produk kopi kita itu harus disebut ‘Kopi Sumsel’ walaupun bisa saja berasal dari Pagaralam, Lahat, Muara Enim dan Empat Lawang, sebutannya nanti tetap Kopi Sumsel”, katanya.
Ketiadaan brand kopi ini juga terjadi di daerah lain, seperti di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB). Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki saat berkunjung ke sana tahun 2022 memberi saran agar kopi yang berasal dari pulau ini menggunakan satu brand atau merek dagang. Alasannya, produksi dan pemasaran kopi Lombok menggunakan satu brand agar lebih cepat dikenal secara nasional dan global.
Menurut Teten, kopi di satu daerah dengan banyak branding kurang menguntungkan secara bisnis, karena akan terjadi persaingan antara komunitas atau produsen kopi. “Banyak brand itu tidak mengaungkan, lebih baik brand satu tapi produksi masif”, katanya.