Hari Kemerdekan Pers Sedunia dan Jurnalis Perempuan (Selamat Jalan Nurseri)
Dalam perkembangan jurnalisme di Sumsel, jurnalis perempuan Aina Rumiyati Aziz, Weny Ramdiastuti, Nurseri Marwah, Eflianty Analisa, Dinda Wulandari dan Dolly Rosana adalah fakta yang mematahkan stigma, stereotype dan dominasi laki-laki dalam industri pers Indonesia. Mereka menjadi jurnalis perempuan profesional yang berkarir dan berkeluarga.
Kehadiran jurnalis perempuan dalam sejarah pers Indonesia sudah berlangsung sejak lama, sebelum Indonesia merdeka.Misalnya, salah satu generasi pertama perempuan Indonesia yang berkarir di pers adalah Rohana Kudus. Atau dalam istilah Pramoedya Ananta Toer dalam “Sang Pemula” (1985), “Keberadaan jurnalis perempuan boleh dibilang setua pers perjuang di negeri ini (misalnya dengan terbitnya Poetri Hindia tahun 1908)”.
Mereka adalah jurnalis perempuan di Sumsel yang merasakan dinamika dunia jurnalisme yang penuh tantangan. Bermula karir sebagai reporter lapangan kemudian menggapai karir menjadi pimpinan dengan peran sebagai pemimpin redaksi, kepala biro dan kepala stasiun televisi yang tugasnya menata manajemen. Mereka adalah perempuan-perempuan hebat dari dunia jurnalisme yang berasal dari Bumi Sriwijaya.
Di tengah memperingati Hari Kemerdekaan Pers Sedunia, jurnalis perempuan dari Sumsel tersebut telah menunjukkan, mereka adalah jurnalis perempuan yang dicatat zaman, terbukti cerdas, bergaul luas, update dengan perubahan zamannya. Meminjam istilah dari Petty S Fatimah yang pernah menjabat Pemimpin Redaksi Majalah Femina, adalah jurnalis perempuan yang tidak merasa, “Ah saya kan cuma perempuan (wartawan). Rohana Kudus membuktikan itu”.
Di tengah perkembangan pers yang terus berubah, mantan Ketua Dewan Pers Bagir Manan mengatakan, “Jurnalis perempuan kerapkali dianggap lebih kredibel, lebih peka, lebih berempati. Nilai-nilai yang melekat pada perempuan ini adalah potensi yang perlu terus dikembangkan dalam menggarap isu aktual yang penting bagi publik”. (maspril aries)