Berbicaralah dengan Pantun untuk Komitmen Lingkungan
Pantun di atas sekilas tidak ada hubungan langsung antara sampiran dengan isi. Tetapi sampiran punya makna yang sebenarnya, yaitu begitulah Sungai Musi, airnya dalam dan berombak. Bagian isi sendiri punya makna bahwa jangan menggantungkan diri pada orang yang sebetulnya sudah tidak punya kemampuan apa-apa. Bagian isi juga tidak secara langsung menunjukkan makna sebenarnya, tapi menunjukkan pengibaratan pula. Untuk memahami isi orang mesti berpikir dulu, begitulah orang Melayu.
Keempat, hampir semua Pantun Melayu adalah pengibaratan. Entah itu ingin menyinggung sesuatu, mengungkapkan perasaan, candaan, Pantun muda-mudi, tetapi dominan bermakna pada pengibaratan. Kalaupun bagian isi sudah menunjukkan makna langsung, tapi dengan menggunakan Pantun, ia menjadi seolah-olah sebuah pengibaratan. Bahasa lainnya, Pantun identik dengan sebuah bentuk komunikasi konteks tinggi (Gudykunst et al., 1996), sebuah gaya komunikasi orang Melayu. Berkomunikasi tapi tidak menunjuk sasaran langsung. Komunikasi yang suka berbasa-basi, kadang berbelit-belit, dan penuh dengan tenggang rasa. Itulah orang Melayu.
Pantun Asal-Asalan
Soal pengibaratan ini, harus jujur diakui belakangan sudah mulai menunjukkan pergeseran dimana beberapa pihak yang mencoba membuat Pantun terkesan asal-asalan. Hakekat Pantun sebagai sebuah sastra tutur yang memiliki nilai seni tinggi, kerap diabaikan. Asalkan bernada ab-ab, jadilah p `antun. Tak heran muncullah selorohan bernada Pantun seperti berikut:
Ikan sepat ikan gabus, makin cepat makin bagus. Atau Tap tap Tanjung Atap, Tempat bermain orang Indralaya. Bapak Ibu duduklah mantap-mantap, saya ceramah tidak lama.
Sungguh, model-model pantun seperti tidak menunjukkan kekhasan Melayu yang punya nilai seni tersendiri. Untuk sekedar bahan bercanda tentu syah-syah saja, tapi ketika ia sudah menjadi kebiasaan dan ditiru orang lain, Pantun Melayu akan lama-lama kehilangan pula esensinya.
Kelima, berkomunikasi dengan menggunakan pantun (termasuk juga pepatah) yang menggunakan pengibaratan, dirasakan orang Melayu lebih terasa “menyengat” ketimbang omongan yang menunjuk langsung. Disindir dengan Pantun, terasa lebih menyakitkan ketimbang ditegur langsung. Ini lagi-lagi ciri khas Melayu yang berkomunikasi konteks tinggi. Seseorang akan lebih tersinggung ketika dikatakan “tingkah kamu ini seperti sawah tak berpematang”, ketimbang dikatakan “kamu ini kurang ajar tak tahu mana yang tua dan muda”.
Tampak bahwa sejatinya Pantun Melayu melekat pada masyarakatnya karena memang bersumber dari keseharian mereka. Tetapi memang tidak semua orang memiliki kepiawaian dalam merajut kata-kata sehingga bernada Pantun yang tepat.
Apapun itu, satu penegasan yang tidak bisa dibantahkan bahwa apapun jenis Pantun, biasanya selalu merujuk pada kondisi lingkungan alam setempat, entah itu gunung, lembah, hutan, hewan, air, sungai, kemacetan, kesemrawutan, dan lain sebagainya. Dari pengamatan terhadap realitas, dari situlah komunikasi kemudian dijalin melalui bait pantun.