Home > Lingkungan

Berbicaralah dengan Pantun untuk Komitmen Lingkungan

Sebuah hal yang patut dibanggakan bahwa pantun adalah identitas Melayu.

Banjir adalah masalah yang kerap melanda Palembang. Pj Wali Kota Palembang Ratu Dewa memberikan bantuan kepada warga korban banjir. (FOTO: Dinas Kominfo Kota Palembang)
Banjir adalah masalah yang kerap melanda Palembang. Pj Wali Kota Palembang Ratu Dewa memberikan bantuan kepada warga korban banjir. (FOTO: Dinas Kominfo Kota Palembang)

Pantun dan Lingkungan

Oleh sebab itu, tak ada salahnya jika dalam beberapa langkah ke depan mengiringi ragam program untuk mengatasi berbagai masalah di masyarakat, khususnya berkaitan dengan soal lingkungan hidup, Pantun dilakukan revitalisasi. Kampanye penyelamatan lingkungan bisa mengandalkan kekuatan syair-syair pada Pantun, termasuk juga Pepatah yang levelnya lebih dalam lagi.

Ada banyak keuntungan yang bisa didapat dalam konteks ini.

Pertama, kelestarian identitatas masyarakat Melayu akan bisa dijaga dan dipertahankan. Kedua, ragam upaya dan sosialisasi untuk membangun kesadaran warga selama ini terbukti tidak maksimal dengan pola-pola lama. Pantun bisa dijadikan salah satu bentuk komunikasi yang lebih mengena.

Coba perhatikan, mungkin sejak kecil kita sudah mengenal dan tahu dengan kata-kata “Dilarang Buang Sampah Sembarangan” atau “Buanglah Sampah pada Tempatnya”, tetapi toh sampah tetap tersebar dimana-mana. Sekarang coba ganti dengan metode berpantun atau menggunakan Pepatah. Carilah bait-bait Pantun bermakna mendalam tapi mudah dipahami.

Ketiga, pemanfaatan Pantun bisa menjadi sebuah bentuk edukasi masyarakat yang berbasis kelokalan masyarakat itu sendiri. Pantun bersumber dari masyarakat, manfaatkanlah potensi itu.

Keempat, Pantun bisa dijadikan ajang otokritik bagi masyarakat, termasuk pemerintah. Menuntut komitmen pemerintah melalui Pantun bisa disampaikan, dan sebaliknya komitmen pemerintah juga bisa ditunjukkan lewat pantun yang berkualitas. Sebagaimana penjelasan awal, kualitas Pantun adalah pada kesesuaian dengan realitas dan penggunaan pengibaratan yang tepat. Makna pantun akan terasa lebih menggugah ketimbang kritik secara langsung. Uniknya pula, kendati dikritik, tapi yang dikritik tidak akan merasa emosi atau tersinggung berat. Senyum-senyum mesem tapi pesannya mengena sekali.

Betanam jahe di parak sawah

Sawah besisir nuju ujung muaro

Begawe sudah membangun sudah,

Tapi banjir dan kelebu lum tuntas jugo

(Bertanam jahe di dekat sawah

Sawah bersusun ke arah ujung muara

Bekerja sudah membangun sudah

Tapi banjir dan tenggelam belum tuntas juga)

Bayangkan andai kata-kata itu yang terpajang di baliho besar di tengah kota Palembang? Bukankah itu sebuah otokritik yang menunjukkan kerendahan hati? Yakinlah ini akan berpengaruh besar pada simpati publik, konon bisa menaikkan elektabilitas. Tetapi apakah itu bisa terjadi? Entahlah. Kalaupun tidak, publik bisa memulainya sendiri.

Pandangan orang Uluan bisa diambil sebagai pelecut diri bersama, “Kalu dide pacak ngilok’I, dide merusak jadilah” (Kalau tidak bisa memperbaiki, tidak merusakpun jadilah). Itulah selemah-lemahnya upaya, tapi jadilah. ©

× Image