Berbicaralah dengan Pantun untuk Komitmen Lingkungan
Spontan Melayu
Jika ditilik lebih jauh, ada beberapa karakteristik khas pantun masyarakat Melayu, selain berciri ab-ab. Pertama, selalu menghubungkan diri dengan kondisi lingkungan alam setempat, minimal berhubungan dengan pengetahuan dan pengalaman penutur sehari-hari. Keterhubungan itu paling jelas tampak dari barisan sampiran. Kalaupun bagian isi tidak mengenai topik lingkungan, tetapi sampiran hampir pasti mengacu pada kondisi alam yang ada.
Kedua, pantun ini bersifat dinamis, dengan kata lain bisa diproduksi kapan saja sesuai dengan kebutuhan dan pengetahuan si penutur. Saat melihat jalanan Palembang macet, saat itu bisa muncul sebuah Pantun, misalnya,
Lah dalu nian di malam ini
Bulan lah teselip, dengat lagi nak hujan
Lah maju nian kota kami ni
Dulu cuma limo menit, mak ini pacak jadi sejam
(Sudah larut betul di malam ini,
Bulan terselip sebentar lagi hujan.
Sudah maju sekali kota kami ini,
dulu hanya lima menit, sekarang bisa jadi satu jam)
Dinamisnya pantun ini tentu saja sangat ditentukan oleh kemampun berbahasa si penutur dan kemampuan imajinasi dalam menciptakan bait-bait. Tidak semua orang bisa melakukan ini, tapi kalau ada yang bisa melakukan secara spontan, ia adalah Melayu.
Ketiga, kalaupun tidak semuanya, Pantun Melayu biasanya memiliki realitas makna yang kuat pada sampiran maupun isi. Antara sampiran dan isi, tidaklah bagian terpisah begitu saja, tetapi punya hubungan. Bisa dalam bentuk hubungan langsung ataupun hubungan tidak langsung. Ini kalau kita bicara konteks Pantun yang bisa dikatakan sebagai identitas Melayu. Pantun bukanlah sembarang pantun, baitnya pun demikian. Ia muncul karena memang ada fenomena yang akan digambarkan. Sebagai contoh coba amati bait pantun berikut,
Jangan bemain di pinggir Musi
Banyunyo dalam ombaknyo besak
Kalu becermin dengan diri kami
Ibarat batang lah keno tetak
(Jangan bermain di pinggir Sungai Musi
Airnya dalam ombaknya besar
Janganlah bercermin dengan diri kami
Ibarat batang sudah kena potong)