Berbicaralah dengan Pantun untuk Komitmen Lingkungan
Oleh : Yenrizal (Dosen Komunikasi Lingkungan FISIP UIN Raden Fatah)
Tesebut hantu si hantu banyu
Penjago banyu sejak jaman bingin
Gugu’an tubu lokak kelebu
Jerambah kayu lah beganti jalan licin
(Tersebut hantu si Hantu Banyu
Penjaga air sejak zaman dahulu
Kampungku alamat akan tenggelam
Jembatan kayu lah berganti jalanan licin)
Sebuah hal yang patut dibanggakan bahwa pantun adalah identitas Melayu. Sumatera Selatan, sebagai sebuah wilayah bermukimnya etnis Melayu, Pantun paling banyak ditemukan di daerah Uluan (hulu Sungai Musi). Di Iliran (hilir Sungai Musi, termasuk Palembang) memang agak jarang terdengar, kecuali dalam beberapa acara adat. Tetapi bahwa pantun adalah sebuah identitas yang sudah melekat, tak bisa dibantahkan.
Secara definisi, pantun bisa diterjemahkan sebagai sebuah sastra tutur yang terdiri dari empat baris. Dua baris pertama disebut sampiran, dua baris terakhir dinyatakan bagian isi. Antara keduanya dihubungkan dengan sajak ab-ab (Al-Fin & Jalaluddin, 2022; Yenrizal et al., 2022). Dengan model seperti ini, maka Pantun dirasakan dan diyakini memiliki nilai seni dan artistik tersendiri. Orang yang mendengar akan ada rasa tergugah, begitupun yang menyampaikan, lebih plong dalam berkirim pesan.
Tak heran, bait-bait pantun biasanya melekat dan menjadi ciri khas pada bentuk-bentuk seni sastra lainnya, terutama seni musik daerah. Di Sumsel dikenal seni Rejung, Tadut, Irama Batang Hari Sembilan, Senjang, dan sebagainya, yang semuanya mengadopsi pantun pada syair-syairnya. Karenanya pemakaian pantun kemudian melekat pula sebagai sebuah seni tradisi lokal.
Fenomena ini bukan hanya milik Sumsel, kawasan Melayu lainnya bahkan lebih menunjukkan kekuatannya semisal di Riau dan Sumatera Barat.
Pendek kata,
Bukan banyu sembarang banyu
Banyu besar Lebak Berayun
Bukan Melayu sembarang Melayu
Melayu nian kalau sedang berpantun.