Mereka Ramai-Ramai Menjadi Amicus Curiae
Mengutip Amicus Brief (Komentar Tertulis) yang diajukan oleh tiga tiga kelompok masyarakat sipil yaitu Indonesia Media Defense Litigation Network (IMDLN), Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), dan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) dalam “Delik Kesusilaan dan Kemerdekaan Pers dalam Perkara Majalah Playboy di Indonesia” (2011) bahwa dalam tradisi common law, mekanisme Amicus Curiae pertama kalinya diperkenalkan pada abad ke-14.
Selanjutnya pada abad ke-17 dan 18, partisipasi dalam Amicus Curiae secara luas tercatat dalam All England Report. Dari laporan tersebut menjelaskan fungsi utama Amicus Curiae adalah untuk mengklarifikasi isu-isu faktual, menjelaskan isu-isu hukum dan mewakili kelompok-kelompok tertentu. Amicus Curiae juga berkaitan dengan fakta-fakta dan isu-isu hukum, tidak harus dibuat oleh seorang pengacara (lawyer). Amicus Curiae, tidak berhubungan penggugat atau tergugat, namun memiliki kepentingan dalam suatu kasus.
Amicus Curiae di Indonesia
Menurut catatan tiga kelompok masyarakat sipil tersebut, di Amerika Serikat, sebelum terjadinya kasus Green v. Biddle pada awal abad ke 19, lama sekali pengadilan menolak untuk memperbolehkan partisipasi Amicus Curiae dalam proses peradilan. Namun, sejak awal abad 20, Amicus Curiae memainkan peranan penting dalam kasus-kasus yang menonjol (landmark) dalam sejarah hukum Amerika Serikat, seperti misalnya kasus-kasus hak sipil. Dalam studi tahun 1998, Amicus Curiae telah berpartisipasi dalam lebih dari 90 persen kasus-kasus yang masuk ke Mahkamah Agung (US Supreme Court).
Masih menurut catatan IMDLN, ICJR dan ELSAM, di Indonesia, Amicus Curiae belum banyak dikenal dan digunakan, baik oleh akademisi maupun praktisi. Sampai 2011 yang berkaitan dengan kasus kebebasan berekspresi, ada tiga Amicus Curiae yang diajukan ke pengadilan di Indonesia. Pertama, oleh kelompok pegiat kemerdekaan pers yang mengajukan Amicus Curiae kepada Mahkamah Agung terkait dengan peninjauan kembali kasus majalah Time versus Soeharto.