Agus Fatoni dan Fenomena Mudik Lebaran (Visiting Hometown On Idul Fitri Days)
Sylvia Kurnia Ritonga dalam “Larangan Mudik (Pulang Kampung) Lebaran Idul Fitri di Masa Pandemi Covid-19 dalam Sudut Pandang Hukum Islam dan Budaya” (2021) menyatakan, pada hakikatnya tradisi mudik bukanlah tradisi suatu agama, akan tetapi sebuah tradisi lokal saja. Artinya mudik ini tidak ada di seluruh negara hanya ada pada beberapa negara saja.
Menurut antropolog Neil Mulder, mudik sering dimaknai sebagai proses migrasi internal (lokal) yang berlangsung secara temporer. Di samping sebagai proses migrasi, mudik juga merupakan simbol kultur komunalitas yang terjadi pada masyarakat baik sebelum maupun pasca libur panjang atau hari besar kkeagamaan, terutama pada saat lebaran atau hari raya Idul Fitri.
Mudik menjadi tren di Indonesia sejak tahun 1970-an. Masa itu banyak masyarakat yang memilih pergi ke kota yang mulai semarak pembangunannya, mereka tinggal dan mencari penghidupan di kota-kota di Indonesia, ada yang mengatakan berkembangnya kota telah menyebabkan terjadinya migrasi untuk mencari penghidupan yang lebih baik di kota. Pola ini kemudian disebut urbanisasi.
Mereka yang tinggal di kota sebelumnya datang dari desa, saat musim libur tiba mereka kembali ke desa atau kampung halamannya, aktivitas mereka disebut mudik. Khususnya pada libur hari besar keagamaan seperti Idul Fitri mereka yang di tanah ratnau pulang ke kampung halaman (mudik) jumlahnya sangat banyak.
Tahun 2023 jumlah pemudik melonjak drastis mencapai 123,8 juta, ini mudik terbesar yang sebelumnya pemerintah menerapkan larangan mudik karena pandemi Covid-19. Tahun 2024, Kementerian Kominfo memprediksi akan kembali terjadi lonjakan, diproyeksikan mudik akan membawa pergerakan secara nasional sebanyak 193.6 juta orang.
Mudik kini bukan hanya milik masyarakat, tapi pemerintah juga cawe-cawe dengan mempersiapkan berbagai fasilitas mudik agar mereka yang mudik nyaman, aman dan selamat sampai ke kampung tujuan. Pasca reformasi bergulir di Indonesia ada program mudik gratis yang massal dan masif dengan difasilitasi pemerintah sampai ke pemerintah kabupaten dan kota, juga oleh BUMN dan perusahaan swasta kini menjadi bagian dari cawe-cawe mudik.
“Bagi masyarakat Indonesia bahwa mudik lebaran merupakan satu ibadah atau ritual tahunan yang tak boleh dilanggar dan hal ini sama sekali dapat dikatakan tidak mengenal status sosial – ekonomi maupun derajat kehidupan seperti kaya atau miskin”, tulis Bambang B. Soebyakto dalam “Mudik Lebaran (Studi Kualitatif)”.